Tujuandari semua ritual dalam sihir upacara adalah mikrokosmos bersatu dengan makrokosmos untuk bergabung dengan Tuhan atau dewa-dewa, ketika dijalankan dengan kesadaran manusia. Ketika penyatuan tertinggi dicapai, subyek dan obyek menjadi satu. tetapi didedikasikan untuk kemuliaan manusia dengan motif membuat 'nama' untuk pembangun ArticlePDF Available AbstractOne of Dong Son Culture product is bronze vessels where found in some areas of Indonesia that is Kerinci, Madura, Lampung, Kalimantan dan Subang. Study about bronze vessels is limited on form and ornament description, and analysis. Ornamental study used structrulism approach on bronze vessels was not done. the purpose of this research is to know about bronze vessels structure and to give new meaning about it with Levi-Strauss structuralism approach. From the data and reference study was known that ornament on bronze vessels is an abstract of ideology/ way of life and ideas of their belonging community. These ideas formed a dualism, such as, about upper world-under world, men-women, feminin-masculin, stability and harmony of universe, fertility and strength. Salah satu produk budaya Dong Son adalah bejana perunggu yang ditemukan wilayah di Indonesia yaitu di Kerinci, Madura, Lampung, Kalimantan dan Subang. Kajian terhadap bejana perunggu tersebut terbatas kepada deskripsi bentuk dan pola hias, serta analisis bahan. Kajian motif hias melalui pendekatan strukturalisme pada bejana perunggu belum dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur yang terdapat pada bejana perunggu serta memberi pemaknaan baru terhadap bejana tersebut melalui pendekatan strukturalisme Levi-Strauss. Dari data yang ada dan studi kepustakaan diperoleh hasil bahwa motif-motif hias yang diterakan pada bejana perunggu merupakan wujud abstrak dari pandangan hidup, ide-ide dan gagasan masyarakat pendukungnya di masa lampau. Ide-ide dan gagasan itu adalah dualisme seperti dunia atas-dunia bawah, lelaki-perempuan, feminin-maskulin, keseimbangan, kekuatan, kesuburan dan harmoni semesta. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ ๎€ƒ 51๎€ƒPendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara Pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Exploring The Meaning of Nusantara Bronze Vessels Ornament Levi-Strauss Structuralism Approach Hafiful Hadi Sunliensyar Mahasiswa Program Studi Pascasarjana Ilmu Arkeologi, FIB, Universitas Gadjah Mada hafifulhadi222 ABSTRACT One of Dong Son Culture product is bronze vessels where found in some areas of Indonesia that is Kerinci, Madura, Lampung, Kalimantan dan Subang. Study about bronze vessels is limited on form and ornament description, and analysis. Ornamental study used structrulism approach on bronze vessels was not done. the purpose of this research is to know about bronze vessels structure and to give new meaning about it with Levi-Strauss structuralism approach. From the data and reference study was known that ornament on bronze vessels is an abstract of ideology/ way of life and ideas of their belonging community. These ideas formed a dualism, such as, about upper world-under world, men-women, feminin-masculin, stability and harmony of universe, fertility and strength. Keywords Bronze Vessels, Structuralism, Meaning. ABSTRAK Salah satu produk budaya Dong Son adalah bejana perunggu yang ditemukan wilayah di Indonesia yaitu di Kerinci, Madura, Lampung, Kalimantan dan Subang. Kajian terhadap bejana perunggu tersebut terbatas kepada deskripsi bentuk dan pola hias, serta analisis bahan. Kajian motif hias melalui pendekatan strukturalisme pada bejana perunggu belum dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur yang terdapat pada bejana perunggu serta memberi pemaknaan baru terhadap bejana tersebut melalui pendekatan strukturalisme Levi-Strauss. Dari data yang ada dan studi kepustakaan diperoleh hasil bahwa motif-motif hias yang diterakan pada bejana perunggu merupakan wujud abstrak dari pandangan hidup, ide-ide dan gagasan masyarakat pendukungnya di masa lampau. Ide-ide dan gagasan itu adalah dualisme seperti dunia atas-dunia bawah, lelaki-perempuan, feminin-maskulin, keseimbangan, kekuatan, kesuburan dan harmoni semesta. Kata Kunci Bejana Perunggu, Strukturalisme, Makna. ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒTanggal๎€ƒMasuk๎€ƒ๎€ƒ9๎€ƒDesember๎€ƒ2016๎€ƒTanggal๎€ƒDiterima๎€ƒ๎€ƒ ๎€ƒ6๎€ƒFebruari๎€ƒ2017๎€ƒ 52๎€ƒ ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒBerkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 PENDAHULUAN Perkembangan teknologi merupakan salah satu indikator kemajuan peradaban manusia masa lampau. Beralihnya teknologi batu menuju teknologi logam adalah hasil dari berkembangnya pengetahuan manusia dalam penggunaan teknologi api. Sejak saat itu manusia mulai memproduksi berbagai produk benda logam yang digunakan untuk keperluannya sehari-hari. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa artefak logam tertua ditemukan di Turki yang diperkirakan berasal dari tahun millennium ke-6 SM Haryono, 2001 2. Sementara itu, di Asia Tenggara zaman logam diperkirakan di mulai pada tahun 2000 SM. Hal ini berdasarkan pada tinggalan-tinggalan produk budaya bendawi berupa artefak logam perunggu yang ditemukan di Thailand Haryono, 2001. Van-Heekeren 19581 mengemukakan bahwa di Indonesia tidak dikenal adanya zaman tembaga atau zaman perunggu karena temuan perunggu di Indonesia pada umumnya terdapat pada lapisan yang sama dengan temuan besi, karena itu dia menggunakan terminologi zaman perunggu-besi untuk menyatakan zaman logam di Indonesia. Heekeren juga berpendapat bahwa kebudayaan perunggu Indonesia berasal dari luar yaitu dari Dong Son, wilayah Vietnam Utara saat ini. Para ahli berbeda pendapat dalam hal kapan dimulainya zaman perunggu di wilayah Dong Son, namun H. Geldern menduga bahwa masa perunggu Dong Son di mulai sekitar abad ke-8 dan ke-7 SM Haryono, 2001 50. Berbagai bentuk budaya Dong Son telah diimpor ke Nusantara di masa perundagian, baik itu yang sifatnya bendawi maupun ilmu pengetahuan dalam teknik pembuatannya. Menurut Hoop 1932 masuknya logam di Indonesia diperkirakan pada tahun 500-300 SM. Di antara artefak logam temuan Indonesia yang menunjukkan ciri kentara pengaruh kebudayaan Dong Son adalah nekara perunggu, kapak perunggu, patung perunggu, dan bejana perunggu. Pada masa selanjutnya artefak perunggu sudah diproduksi secara lokal seperti contohnya nekara tipe pejeng ataupun moko yang ditemukan di Bali dan Nusa Tenggara Timur Bintarti, 2001. Bejana perunggu salah satu produk budaya bendawi masa perundagian, telah menjadi objek penelitian menarik dalam ilmu arkeologi. Penelitian yang berkembang hanya menyangkut aspek teknis untuk mengetahui bagaimana bejana dibuat pada masa silam atau lebih menekankan analisis bahan dengan pendekatan saintifik untuk melihat bagaimana persamaan komposisi bahannya dengan artefak perunggu lainnya yang dihubungkan dengan paradigma difusi. Sayangnya, dari sisi keartistikan dan estetika dengan berbagai motif indah pada permukaan bejana sedikit sekali peneliti yang berminat untuk mengkajinya. Padahal pola dan ragam hias yang ada pada bejana menunjukkan ciri khusus yang ada padanya. Van-Heekeren 1958 mencatat bahwa kajian-kajian terhadap bejana perunggu yang telah dilakukan pada saat itu hanya terbatas pada deskripsi bentuk, motif hias dan teknik pembuatannya saja. Analisis bahan hanya dilakukan pada satu objek bejana saja yaitu yang ditemukan di Asemjaran, Madura. Sementara itu, Sumardjo Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ ๎€ƒ 53๎€ƒPendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar 2002 pernah melakukan penafsiran terhadap makna pola hias bejana perunggu Kerinci secara hermeneutis-historis. Setelah itu, penulis belum menemukan referensi tentang kajian-kajian berikutnya dengan objek bejana perunggu tersebut. Ahimsa-Putra 1999a dalam artikelnya telah menawarkan cara baru dalam mengupas masalah-masalah arkeologi terutama arkeologi semiotik, yaitu melalui pendekatan strukturalisme Levi-Strauss. Lebih lanjut Tanudirjo 2016 mengemukakan bahwa analisis struktural mencoba menemukan prinsip-prinsip dasar pikiran manusia sebagaimana yang tertuang dalam unsur budaya dominan seperti pola perkampungan, pola hiasan, kekerabatan mitos dan lainnya. Oleh sebab itu melalui penalaran induktif dalam tulisan ini, penulis mencoba menggunakan cara analisis dengan pendekatan struktural Levi-Strauss pada objek bejana perunggu dengan tujuan untuk mengetahui makna dan struktur apa yang terdapat dalam motif hias bejana-bejana perunggu yang ditemukan di Indonesia. Strukturalisme Levi-Strauss dalam Arkeologi Semiotik Pendekatan struktural dalam arkeologi dapat didefinisikan sebagai penafsiran data arkeologi yang didasari oleh anggapan bahwa tindakan manusia dipadu oleh kepercayaan dan konsepsi simbolis yang sebenarnya berakar dari struktur pikiran manusia Tanudirjo, 2016. Dalam perspektif arkeologi terutama pasca-prosesual, budaya dianggap sebagai struktur simbol yang dianut bersama dan merupakan hasil akumulasi hasil pikir manusia. Analisis struktural yang dilakukan bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip dasar pikiran manusia yang tertuang dalam unsur-unsur budaya dominan seperti budaya bendawi Tanudirjo, 2016. Ada beberapa premis dalam strukturalis yang dikemukakan oleh Tanudirjo. Pertama, ada pola pikir manusia yang berulang-ulang dalam tindakan-tindakan yang akhirnya memberi ciri khas pada suatu budaya tertentu. Kedua, struktur pikiran dalam suatu lingkungan budaya tertentu secara terpadu melatarbelakangi berbagai aspek kehidupan manusia dalam. Ketiga, pola pikiran disatu aspek kehidupan akan tercermin dalam aspek kehidupan lain, misalnya pola hias pada bejana perunggu mencerminkan pola religi masyarakat pendukungnya. Dari serangkaian konsep-konsep yang dikemukakan oleh Levi-Strauss, dikatakan bahwa benda-benda arkeologis juga dapat dianalisis seperti yang dilakukan oleh ahli bahasa. Hal ini bila dilihat dari perspektif bahwa artefak-artefak atau materi kebudayaan bukan sekedar diciptakan untuk tujuan ekonomis semata, tetapi merupakan suatu sistem simbol dan sistem tanda. Melalui benda-benda tinggalan tersebut dapat diungkap ide-ide, pandangan mereka, yang semuanya merupakan pesan yang bersifat sosial ataupun individual Ahimsa-Putra, 1999b. Dari berbagai pandangan mengenai pendekatan dalam kajian semiotika, dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa analisis ataupun pendekatan strukturalisme Levi-Strauss sangat bisa diterapkan pada tinggalan-tinggalan budaya bendawi. Ahimsa-Putra 1999a;1999b mengemukakan alasan-alasan dan hal ihwal mengapa strukturalisme Levi-Strauss dipilih untuk diterapkan dalam bidang arkeologi. Pertama, 54๎€ƒ ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒBerkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 kritik terhadap arkeologi prosesual yang positivistik dan mengabaikan kebermaknaan tinggalan arkeologi bagi si pembuat dan si pemiliknya di masa lampau. Kedua, kecendrungan analisis ke arah simbolis dan semiotis telah lama ada dalam kajian arkeologi di Indonesia, namun kajian-kajiannya tidak eksplisit kerangka teorinya dan tidak mampu menghasilkan konsep-konsep penajaman arkeologis yang penting. Ketiga, analisis struktural tidak membutuhkan dana yang begitu luar biasa besarnya dan juga tidak membutuhkan analisis material yang canggih dimana terbatas dana dan fasilitasnya di Indonesia. Menurut riwayatnya, Levi-Strauss pertama kali menerapkan analisis strukturalnya pada mitos dan karya sastra Yunani dan orang-orang Indian di Amerika Ahimsa-Putra, 2006. Hal ini diikuti pula oleh Ahimsa-Putra 2006 dengan menerapkan analisis strukturalisme Levi-Strauss pada mitos dan karya sastra yang ada di Indonesia. Pendekatan struktural dalam bidang arkeologi pertama kali dilakukan oleh Andrei Leroi-Gourham pada tahun 1960-an. Menurut Gourhan, gambar-gambar pada lukisan gua yang diteliti dibuat berdasarkan sebuah komposisi dimana gambar kuda dan bison merupakan 60% dari semua gambar yang ada di gua itu. Melihat dari penyataan itu bisa diperkirakan bahwa gambar-gambar tersebut tidak asal dibuat tapi memiliki sebuah struktur aturan yang mengindikasikan kesadaran consciousness dari masyarakat pembuatnya. Bisa disimpulkan bahwa sejak tahun sebelum masehi, manusia sudah memiliki kesadaran secara kognitif dimana faktor ini membedakan manusia dari binatang Renfrew dan Bahn, 2000 392-393. Ahimsa-Putra 1999b dalam artikelnya yang berjudul โ€œArca Ganesya dan Strukturalisme Levi-Strauss Sebuah Analisis Awalโ€, dimana di dalam artikel tersebut Ahimsa-Putra melakukan analisis awal menggunakan pendekatan strukturalisme Levi-Strauss terhadap hasil penelitian Edi Sedyawati mengenai ikonografi arca Ganesya pada masa Jawa kuna. Kajian Edi Sedyawati yang berada pada jalur sejarah seni dengan analisis kontekstual yang dilakukan sebelumnya, hanya mampu membuahkan hipotesis dan bukan rumusan fungsional antar fenomena yang lebih pasti Ahimsa-Putra, 1999b 66. Sementara itu, melalui analisis struktural yang dilakukan oleh Ahimsa-Putra telah membuka peluang baru untuk penelitian arca Ganesya lebih lanjut seperti kemungkinan penelitian yang memusatkan perhatian pada makna apa yang ingin disampaikan lewat berbagai kombinasi ciri-ciri khusus yang ada pada arca Ganesya ataupun arah penelitian baru berupa survei dan ekskavasi untuk menemukan arca Ganesya yang memperlihatkan kombinasi-kombinasi baru dari ciri-ciri khusus yang ada dengan asumsi bahwa arca Ganesya yang telah dianalisis belum menampilkan keseluruhan kombinasi ciri-ciri khusus Ahimsa-Putra, 1999b. Setidaknya analisis struktural Levi-Strauss yang dilakukan oleh Ahimsa-Putra terhadap penelitian arkeologi Edi Sedyawati itu menggambarkan keunggulan penerapan pendekatan ini di bidang arkeologi, yaitu kesempatan penelitian-penelitian dengan pendekatan dan asumsi baru menggunakan analisis struktural walaupun pada objek yang sudah diteliti sebelumnya, serta Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ ๎€ƒ 55๎€ƒPendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar analisis yang lebih mendalam pada tinggalan arkeologis. Di sisi lain, arkeolog dapat melihat sesuatu yang belum terlihat sebelumnya pada benda arkeologis melalui pendekatan struktural ini. Hal ini berarti potensi-potensi tinggalan arkeologis dapat meningkat melalui tafsiran dan pemaknaan baru sehingga memperkaya khazanah keilmuan di bidang arkeologi. METODE Data mengenai bejana perunggu nusantara diperoleh dari studi kepustakaan, terutama dari tulisan Heekeren 1958, katalog museum Barbier Mueller yang bisa diakses secara on-line dan katalog museum daerah Subang. Selain itu juga digunakan data etnografi untuk membantu interpretasi hasil analisis. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis makna. Analisis makna ditujukan untuk menggali makna dari suatu artefak dan juga untuk mengungkapkan tata bahasaโ€™ atau pesan-pesan yang ada dalam proses penciptaan benda-benda simbolis itu sendiri yang bersifat nirsadar Ahimsa-Putra, 1999b 61. HASIL PENELITIAN Deskripsi Bejana Perunggu Nusantara Sebuah pertanyaan yang masih menjadi perdebatan para arkeolog hingga kini adalah tentang asal usul kebudayaan perunggu di Indonesia. Worsae dalam Heekeren 1958 mengatakan bahwa tanah asalnya dari India Belakang. Sebaliknya Meyer dan Richer berpendapat bahwa kebudayaan perunggu di Indonesia, khususnya yang ada di Sulawesi, Flores dan Kalimantan berhubungan dengan Asia Tenggara Daratan Heekeren, 1958. Sedangkan H. Parmentier menyatakan bahwa berdasarkan perbandingan seni hias nekara ada kemiripan antara yang ditemukan di Vietnam dengan di Indonesia Haryono, 2001. Akan tetapi penelitian terhadap kebudayaan perunggu masa itu lebih terfokus kepada objek nekara. Karena nekara perunggu merupakan artefak penting di dalam kebudayaan perunggu di Asia Tenggara, khususnya Dong Son. Bintarti 2001 dalam penelitiannya, melakukan perbandingan antara nekara tipe pejeng yang ditemukan di Bali dengan nekara Heger I yang banyak ditemukan di Indonesia. Bintarti menyimpulkan bahwa nekara tipe pejeng adalah nekara yang diproduksi lokal. Hal ini diperkuat dengan temuan batu cetakan nekara tipe Pejeng di desa Manuaba, Bali Bellwood, 2000 407. Bagaimana dengan bejana perunggu yang ditemukan di Nusantara? Meskipun para ahli menyebut budaya perunggu nusantara berasal dari Dong Son, sampai saat ini belum ada temuan arkeologis yang meyakinkan untuk membuktikan bahwa bejana perunggu yang ditemukan di Nusantara juga diimpor dari wilayah Dongson atau diproduksi secara lokal. Namun demikian, Bosch menyebutkan bahwa motif hias pada bejana perunggu Kerinci merupakan perkembangan motif hias secara lokal karena pengaruh Hindu. Sementara motif hias bejana perunggu Madura lebih memiliki gaya Dongsonian karena kesamaan motif hiasnya dengan bejana yang ditemukan di Kamboja Heekeren 1958 34-36. 56๎€ƒ ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒBerkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 Bejana perunggu nusantara memiliki kesamaan dalam bentuknya yaitu mirip kepis atau wadah ikan, sebagian menyebutnya berbentuk seperti gitar arab Oud-gambus. Bejana ini dibentuk dari dua potongan sisi cembung yang sama kemudian dipadukan bersama secara sempurna. Bejana perunggu dibagi atas tiga bagian yaitu mulut bejana, leher bejana dan badan bejana. Perbedaan hanya terdapat pada ukuran dan motif hias yang diterakan dipermukaannya. Bejana Perunggu Kerinci Bejana perunggu Nusantara pertama kali ditemukan pada tahun 1922 di Mendapo Lolo, Kerinci Heekeren, 1958 34. Mendapo Lolo adalah wilayah setingkat district pada masa pemerintahan kolonial Belanda yang saat itu berada dalam afdelling Kerinci-Painan, Sumatera Westkust Yakin, 1986. Saat ini, wilayah Mendapo Lolo terbagi atas beberapa desa yaitu Desa Lolo Gedang, desa Lolo Kecil, desa Pasar Kerman dan desa Talang Kemuning yang berada dalam Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Jambi. Bejana perunggu Kerinci sekarang tersimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor inventaris MNI 1443. Bejana perunggu Kerinci lihat gambar berasal dari periode paleometalik, memiliki ukuran panjang 50, 8 dan lebar 37 cm Heekeren, 1958 34. Sedikit bagian mulut dan lehernya sudah rusak, tetapi sudah direkonstruksi bentuknya dalam gambar. Seluruh permukaan bejana terdapat motif hias yang sama di kedua sisinya. Pada bagian mulut bejana sekat pertama terdapat motif hias berbentuk segitiga. Sekat kedua pada bagian leher bejana dihiasi oleh motif berbentuk huruf kapital Jโ€™. Sekat ketiga di antara leher dan mulut bejana dihiasi motif persegi panjang dengan garis bergerigi. Sementara itu, sekat ke empat pada bagian badan bejana dihiasi motif berbentuk huruf kapital Jโ€™, motif spiral, motif mata kapak, motif persegi dan motif segitiga. Motif persegi terdiri atas dua bagian dimana bagian luar persegi berbentuk garis rata sementara bagian dalam persegi tersebut dibentuk dengan garis bergerigi. Bejana Perunggu Madura Sekitar tiga puluh tahun kemudian bejana perunggu Indonesia kedua ditemukan di Asemjaran, Sampang, Madura tepatnya di tahun 1951 Heekeren, 1958 35. Bejana ini kemudian disimpan di Museum Nasional. Kondisi bejana perunggu Madura rusak parah di salah satu sisinya. Panjang bejana ini 90 cm yang dihitung dari tangkai bagian dasarnya dan lebarnya adalah 54 cm lihat gambar Permukaan logam dipenuhi motif hias. Pada bagian mulut bejana atau sekat pertama terdapat motif segitiga dan motif burung merak, pada bagian sekat kedua di leher bejana dihiasi motif huruf kapital J dan motif anyaman, pada sekat ketiga antara leher dan badan bejana dihiasi oleh motif segitiga dan motif rusa. Pada sekat keempat atau badan bejana dihiasi oleh motif persegi, motif spiral, dan motif huruf kapital J. Bejana Perunggu Kalimantan Salah satu koleksi dari Musรฉe Barbier Mueller, Jenewa, Swiss adalah sebuah bejana perunggu yang ditemukan di Kalimantan. Bejana ini diperkirakan berasal dari abad I-III M. Panjang bejana ini adalah 74 cm dan Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ ๎€ƒ 57๎€ƒPendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar lebarnya cm Musรฉe Barbier Mueller Catalog, diakses 25 November 2016. Pada bagian mulut bejana atau sekat pertama terdapat motif segitiga dan motif burung merak, pada bagian sekat kedua di leher bejana dihiasi motif huruf kapital J dan motif anyaman, pada sekat ketiga antara leher dan badan bejana dihiasi oleh motif segitiga dan motif rusa. Pada sekat keempat atau badan bejana dihiasi oleh motif persegi, motif spiral, dan motif huruf kapital J lihat gambar 1. C. Bejana Perunggu Subang Pada tahun 2006 dilaporkan adanya temuan bejana perunggu di Kampung Tangkil, Subang, Jawa Barat. Bejana ini kemudian disimpan di Museum Daerah Subang. Bejana Subang mempunyai ukuran yang lebih besar dari bejana perunggu yang lainnya. Panjang bejana ini 90 cm dan lebar 60 cm. Secara umum mempunyai pola hias yang sama dengan bejana perunggu Kalimantan dan Madura. Pada bagian mulut bejana atau sekat pertama terdapat motif segitiga dan motif burung merak, pada bagian sekat kedua di leher bejana dihiasi motif berbentuk huruf kapital J dan motif anyaman, pada sekat ketiga antara leher dan badan bejana dihiasi oleh motif segitiga dan motif rusa. Pada sekat keempat atau badan bejana dihiasi oleh motif persegi, motif spiral, dan motif huruf kapital J gambar Selain dari keempat wilayah ini, bejana perunggu juga ditemukan di Labuhan Meringgai, Lampung. Oleh karena minimnya data yang tersedia terkait bejana perunggu tersebut, bejana ini tidak dimasukkan ke dalam data penelitian. Namun apabila dilihat dari kecenderungan motif-motif hias yang ada pada keempat bejana perunggu yang menjadi objek penelitian ini. Paling tidak motif hias pada bejana perunggu Lampung akan mengikuti pola hias bejana perunggu Kerinci atau motif hias yang terdapat pada bejana Madura, Subang dan Kalimantan. Heekeren 1958 96-98 menyebutkan bahwa motif-motif hias pada artefak logam dari kebudayaan Dong Son seperti pola hias pada bejana perunggu menunjukkan ciri persamaan yang sangat besar dengan tinggalan zaman perunggu di Eropa dan kebudayaan Cina, di antara motif hias tersebut adalah 1 motif hias spiral, memiliki karakteristik dekorasi zaman besi di Kaukasus dan zaman perunggu di Eropa. Motif ini juga muncul di zaman neolitik kebudayaan Danubian, Ukraina dan ditemukan pula pada periode akhir Chou di Cina; dan 2 motif segitiga, memiliki gaya geometrik asli dari Yunani dan kebudayaan Hallstatt. DISKUSI DAN PEMBAHASAN Analisis Ragam motif hias di permukaan keempat bejana ini merupakan salah satu ciri khusus yang dimiliki bejana perunggu selain dari variasi ukurannya. Ciri khusus ini merupakan ciri yang memperkuat penandaan atas bejana perunggu, dimana keberadaannya bervariasi antar bejana. Ciri khusus bejana perunggu ini meliputi sejumlah motif hias yaitu 1 motif hias berbentuk huruf kapital โ€œJโ€ ; 2 motif hias spiral bentuk huruf kapital S; 3 motif hias segitiga atau tumpal; 4 motif hias burung merak; 5 motif hias rusa; 6 motif hias kapak; 7 motif hias persegi. Tujuh motif ini dijadikan sebagai unit atau satuan analisis terkecil dalam penelitian ini. 58๎€ƒ ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒBerkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 Gambar๎€ƒ1.๎€ƒA.๎€ƒBejana๎€ƒPerunggu๎€ƒKerinci,๎€ƒsumber๎€ƒ 1. Motif-motif yang terdapat pada masing-masing sekat pada bejana perunggu nusantara Nama Bejana Ruang Bejana Kerinci Bejana Madura Bejana Kalimantan Bejana Subang Sekat I Motif segitiga Motif segitiga dan motif merak Motif segitiga dan motif merak Motif segitiga dan motif merak Sekat II Motif huruf J Motif huruf J Motif huruf J Motif huruf J A๎€ƒBC๎€ƒDSekat I Sekat II Sekat III Sekat IV Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ ๎€ƒ 59๎€ƒPendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar Sekat III Motif segitiga Motif segitiga dan motif rusa Motif segitiga dan motif rusa Motif segitiga dan motif rusa Sekat IV Motif huruf J, motif huruf S, motif persegi, dan motif kapak. Motif huruf J, motif huruf S dan motif persegi Motif huruf J, motif huruf S dan motif persegi Motif huruf J, motif huruf S dan motif persegi Langkah selanjutnya dalam analisis secara struktural adalah dengan menyusun rantai sintagmatis dan membandingkan secara paradigmatis Ahimsa-Putra, 199910. Dalam hal ini susunan sintagmatisnya terdiri dari ketujuh motif hias bejana sedangkan secara paradigmatik dilakukan dengan membandingkan motif hias pada bejana perunggu temuan di suatu tempat dengan tempat lain di Nusantara lihat tabel 2. Tabel 2 memberikan informasi bahwa 1 motif hias burung merak dan motif rusa tidak terdapat pada bejana perunggu Kerinci. tetapi terdapat motif kapak; 2 motif segitiga, motif huruf kapital J, motif persegi dan motif spiral terdapat pada semua bejana perunggu yang ditemukan. Dari data yang tersaji pada tabel 2 dapat disimpulkan bahwa motif burung merak, motif rusa dan motif kapak merupakan ciri pembeda dari keempat bejana perunggu yang ditemukan di Nusantara. Dengan menyusun kombinasi-kombinasi ciri pembeda tersebut, maka akan didapatkan hasil seperti yang terdapat dalam tabel 3. Tabel 2. Motif-motif hias yang terdapat pada bejana perunggu nusantara Bejana Kerinci Tidak ada Tidak ada Motif hias kapak Motif Segitiga Motif Huruf J Motif persegi Motif Spiral Bejana Madura Motif hias Burung Merak Motif rusa Tidak ada Motif Segitiga Motif Huruf J Motif persegi Motif spiral Bejana Kalimantan Motif hias Burung Merak Motif rusa Tidak ada Motif Segitiga Motif Huruf J Motif persegi Motif spiral Bejana Subang Motif hias Burung Merak Motif rusa Tidak ada Motif Segitiga Motif huruf J Motif persegi Motif spiral 60๎€ƒ ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒBerkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 Tabel 3. Kombinasi-kombinasi motif hias keseluruhan baik yang ditemukan maupun yang tidak ditemukan Kombinasi Motif Keterangan 1. motif burung merak - motif rusa - motif kapak 2. motif burung merak - motif rusa - โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. 3. motif burung merak - โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ - motif kapak 4. motif burung merak - โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ - โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. 5. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ - motif rusa - motif kapak 6.โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. - motif rusa - โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. 7. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ........ - โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ - motif kapak Tidak ditemukan Ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak temukan Ditemukan Tabel 3 menunjukkan bahwa hingga saat ini hanya ditemukan dua jenis kombinasi motif hias pada bejana perunggu yaitu pertama, kombinasi motif hias burung merak dan motif hias rusa. Kombinasi motif ini terdapat pada bejana perunggu Madura, Subang dan Kalimantan. Motif merak dan rusa juga terdapat pada nekara Heger I dari pulau Selayar dan dari pulau Sangeang, Sumbawa Bintarti, 2001. Keberadaan kedua motif ini memperkuat indikasi bahwa bejana perunggu dengan kombinasi motif ini dipengaruhi gaya Dongsonian. Kedua, motif kapak yang tidak dikombinasikan dengan motif hewan. Kombinasi seperti ini hanya terdapat pada bejana perunggu Kerinci. Interpretasi yang dilakukan selanjutnya adalah untuk mengungkapkan makna-makna yang diperoleh dari hasil analisis yaitu mengapa motif huruf J, motif tumpal, motif persegi, motif spiral terdapat pada semua bejana perunggu? Dan mengapa motif kapak tidak dikombinasikan dengan motif hewan? Interpretasi makna yang bertujuan untuk menjawab permasalahan ini sangat dibantu oleh berbagai data etnografi baik dari kebudayaan Nusantara maupun dari kebudayaan India dan kebudayaan Eropa. Penggunaan data dari kebudayaan lain terkait dengan pendapat Bosch yang menyatakan bahwa motif bejana perunggu berkembang dalam bentuk lokal dan dipengaruhi oleh budaya Hindu India dan pendapat Geldern yang menyatakan bahwa kebudayaan Dongson dipengaruhi oleh kebudayaan Eropa Kaukasian Heekeren, 1958. Interpretasi Makna Motif Tumbuhan Motif atau pola hias segitiga tumpal, bentuk huruf kapital Jโ€™ dan motif spiral pada dasarnya tidak hanya ditemukan pada pada bejana perunggu saja tetapi terdapat pula pada produk-produk bendawi lainnya yang dihasilkan oleh berbagai etnik di Nusantara seperti pada ukiran kayu dan motif kain tradisional. Suku Kerinci yang mendiami Dataran Tinggi Jambi menyebut motif segitiga tumpal dengan sebutan motif pucuk rebung gambar 1 dan motif huruf Jโ€™ disebut dengan motif keluk paku gambar 2. Motif ini diambil dari dua jenis tumbuhan yaitu tumbuhan paku-pakuan dan tumbuhan bambu. Seperti yang diketahui bahwa tumbuhan paku memiliki ciri khas dengan daun yang masih muda menggulung. Pola-pola relung daun paku muda inilah yang Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ ๎€ƒ 61๎€ƒPendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar dinamakan sebagai motif keluk paku oleh orang Kerinci. Sementara itu, tunas bambu muda akan terlihat berpola seperti segitiga. Motif berbentuk pola-pola segitiga tumpal dikatakan sebagai motif pucuk rebung. Baik bambu maupun pakis keduanya adalah dua jenis tanaman yang banyak dijumpai di daerah Kerinci. Begitu pula dengan wilayah lainnya di Indonesia yang beriklim tropis basah. Tanaman pakis dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh beberapa suku di Indonesia sama halnya dengan rebung, akan tetapi tanaman bambu lebih banyak dimanfaatkan dalam berbagai hal. Tanaman paku-pakuan merupakan tanaman yang berkembang biak sangat cepat terutama pada iklim tropis basah. Tanaman paku muda tumbuh melalui spora yang tersebar dari tanaman induknya. Hal ini menjadikan tanaman paku memiliki nilai filosofis tersendiri bagi orang Kerinci. Istilah adat mereka menyebutkan istilah patah tumbauh ila bagentoi patah tumbuh hilang berganti dan mati so tumbu saribu mati satu akan tumbuh seribu, kedua kalimat adat diterjemahkan bahwa segala sesuatu yang sudah mati tidak akan lenyap begitu saja tetapi akan terus meregenerasi menjadi ratusan bahkan ribuan pengganti yang lebih baik. Cara perkembangbiakan tanaman paku merupakan analogi yang tepat terhadap filosofi yang mereka anut. Secara singkat, motif keluk paku menjadi lambang bagi kesuburan. Oleh karena tunas paku menjadi lambang kesuburan bagi suku Kerinci, motif ini juga terdapat pada ukiran-ukiran kayu di rumah dan lumbung padi mereka. Bahkan dijadikan bentuk nisan seperti yang dijumpai pada situs-situs megalitik di Sumatera Barat Gambar 2. Dalam kebudayaan lain kesuburan kerapkali dihubungkan dengan perempuan feminin. Di Jawa misalnya kesuburan dilambangkan dengan seorang dewi yaitu Dewi Sri. Berbeda dengan tanaman paku-pakuan, tanaman bambu dapat hidup di berbagai kondisi iklim. Beberapa jenis bambu yang tunas mudanya dapat dijadikan bahan makanan, tumbuh dengan baik di Indonesia yang beriklim tropis basah. Bambu dimanfaatkan oleh banyak etnik di Indonesia, digunakan sebagai bahan bangunan rumah tradisional, alat angkut, bahan seni seperti alat musik tiup dan alat musik pukul. Gambar๎€ƒ2.๎€ƒ๎€ƒA๎€ƒmotif๎€ƒsegitiga๎€ƒtumpal๎€ƒpada๎€ƒBejana๎€ƒKerinci,๎€ƒsumber๎€ƒmediaโ€ 62๎€ƒ ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒBerkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 Gambar๎€ƒ3.๎€ƒA๎€ƒmotif๎€ƒhuruf๎€ƒJ๎€ƒpada๎€ƒbejana๎€ƒperunggu,๎€ƒsumber๎€ƒHeekeren,๎€ƒ1958๎€ƒdengan๎€ƒperbaikan,๎€ƒB๎€ƒbentuk๎€ƒmenhir๎€ƒmempunyai๎€ƒkesamaan๎€ƒpola๎€ƒhias๎€ƒdengan๎€ƒbejana๎€ƒperunggu,๎€ƒSumber๎€ƒDisporaparbud๎€ƒKerinci,๎€ƒC๎€ƒTunas๎€ƒpaku๎€ƒmuda๎€ƒsebagai๎€ƒinspirasi๎€ƒlahirnya๎€ƒmotif๎€ƒkeluk๎€ƒpaku๎€ƒSuku Kerinci memanfaatkan potongan bambu sebagai atap rumah. Bambu yang dipecah disebut pelupuh digunakan sebagai dinding dan lantai rumah Schefold, 2008. P. Voorhoeve 1970 mengatakan bahwa surat Incung1 orang Kerinci yang berisi ratapan-ratapan ditulis pada media tabung bambu karena bambu dinilai mempunyai daya magis. Penggunaan bambu untuk berbagai keperluan, tidak lain karena kelenturan dan kekuataan yang terdapat pada batangnya. Simbol kekuatan diwujudkan dalam bentuk pola hias pucuk rebung. Di sisi lain, kekuatan seringpula dikaitkan sifat kejantanan atau maskulin, misalnya dalam mitologi Yunani terdapat kisah Hercules seorang lelaki yang mempunyai kekuatan sangat besar. Hercules sendiri adalah anak Dewa Zeus dengan seorang wanita di bumi. Motif spiral bentuk huruf Sโ€™ merupakan bentuk stilisasi dari motif Jโ€™ dimana relung pakunya berada pada dua sisi yang berbeda dengan arah hadap berlawanan. Motif spiral dalam masyarakat Kerinci disebut sebagai motif pilin Rassuh, 2008. ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ1๎€ƒSurat๎€ƒIncung๎€ƒadalah๎€ƒaksara๎€ƒasli๎€ƒyang๎€ƒdigunakan๎€ƒoleh๎€ƒSuku๎€ƒKerinci๎€ƒ๎€ƒMelihat bahwa dalam motif ini, pola relung paku berada pada sisi berbeda dan arah hadap berlawanan tetapi disatukan dalam batangan lurus, kemungkinan merupakan simbol dari penyatuan oposisi-oposisi yang ada di alam semesta. Sumardjo 2002 121 menyebutkan bahwa motif huruf S spiral sebagai lambang dari perpaduan antara lelaki sifat maskulin dan perempuan sifat feminin sehingga mewujudkan sebuah harmoni atau keselarasan semesta. Motif Persegi Hal yang paling menonjol dalam motif persegi ini adalah munculnya pola bilangan empat seperti empat buah sisi dan empat buah sudut yang menjadi pembentuk pola persegi. Bilangan empat ini banyak muncul dalam aspek sosial-budaya berbagai etnik di Nusantara. Suku Kerinci dalam tatanan adat mereka mengenal istilah kato nan mpat, negeri nan mpat, undang-undang nan mpat, adat nan mpat, lembago nan mpat, dan parbokalo bungkan yang barempat Yakin, 1986; Zakaria 1984. Istilah parbakalo bungkan yang barempat misalnya merujuk kepada empat orang yang A๎€ƒB๎€ƒC๎€ƒ Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ ๎€ƒ 63๎€ƒPendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar dipilih sebagai dewan pertimbangan dalam pemerintahan adat Kerinci, ke empat orang ini ditempatkan dalam empat sisi permukiman sebagai lambang keseimbangan. Tidak hanya di Sumatera, di Jawa misalnya terdapat konsep moncopat yang diartikan sebagai sebuah konsep yang menunjukkan pada empat desa lain terdekat dan terletak di keempat mata angin desa tersebut Van-Ossenbruggen dalam Ahimsa-Putra, 1999a 6. Sementara itu, Frutiger 1989 43 berpendapat bahwa pola persegi sebagai simbol sebuah denah permukiman yang dihuni, simbol permukaan bumi dan empat arah mata angin yang merupakan bagian dari perwujudan alam semesta. Dari dua pandangan di atas dapat dikatakan bahwa pola persegi dimaknai sebagai simbol keseimbangan alam semesta. Motif Hewan Motif burung sebenarnya telah menjadi motif khas budaya Dong Son. Hampir semua nekara perunggu bertipe Heger memiliki motif hias burung yang diterakan pada bidang pukulnya Heekeren, 1958 Bintarti, 2001. Motif burung juga terdapat pada sekat pertama bejana perunggu Subang, Kalimantan dan Madura, dimana burung yang menjadi motif hiasnya adalah burung merak gambar 4. Menurut Sumardjo 2002 9 burung dalam pandangan masyarakat prasejarah merupakan simbol dari dunia atas atau dunia rohani. Dunia yang menjadi persemayaman para roh atau para dewa. Senada dengan itu, Munandar 2012 berpendapat bahwa dalam masyarakat prasejarah, burung merak dianggap dekat dengan kekuatan adikodrati, keberadaan mereka di sekeliling permukiman dianggap sebagai perwujudan roh leluhur yang melindungi desa. Sementara itu dalam kebudayaan India dan kebudayaan Cina. Burung merak dianggap sebagai lambang keabadian dan simbol dari kekuasaan. Misalnya di India, merak merupakan kendaraan dewa keabadian yaitu Kartikeya atau Skanda, sementara itu di Cina, bulu merak dijadikan hiasan singgasana raja Munandar, 2012. Motif hewan lain yang terdapat pada tiga bejana perunggu Nusantara adalah motif rusa gambar 4. Motif ini terdapat pada sekat ketiga bejana. Dalam mitologi Yunani, rusa dihubungkan dengan Dewi Artemis yaitu dewi bulan dan perburuan. Sementara itu dalam kebudayaan Turki masa prasejarah di Azerbaijan, memaknai rusa berhubungan dengan dewi kesuburan, dewi bumi dan dewi penguasa hewan Rzayeva, 2009. Berggren 2004 156 menjelaskan bahwa lengkungan tanduk pada beberapa hewan sangat mirip dengan kenampakan bulan sabit, oleh sebab itu rusa dan kambing ibex sering dijadikan sebagai simbol dewi bulan pada kebudayaan masa prasejarah di Timur Tengah dan Asia Tengah. Dapat dikatakan bahwa kedua motif hewan pada bejana perunggu merupakan perwujudan dunia atas dalam berbagai pandangan kebudayaan. Akan tetapi mengapa motif hias ini diterakan bersama? Besar kemungkinan untuk memunculkan unsur dualisme di dalamnya yaitu lelaki sifat maskulin dan wanita sifat feminin. Bila dilihat dari motif hias burung merak pada bejana perunggu akan terlihat bahwa burung merak yang digambarkan adalah burung merak betina ditandai dengan ekor yang lebih pendek sebagai wujud dari 64๎€ƒ ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒBerkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 feminin. Sementara itu, rusa dengan tanduk yang besar dan bercabang merupakan ciri dari rusa jantan yang mewakili sifat maskulin. Motif Kapak Dalam kajian prasejarah dikatakan bahwa kapak merupakan produk budaya paling awal yang dibuat manusia. Pembuatan kapak dalam bentuk alat serpih dengan permukaan kasar sudah di mulai zaman paleolitikum Belwood, 2000. Evolusi bentuk kapak batu mencapai puncaknya pada zaman neolitik Bellwood, 2000. Sejak munculnya pengetahuan penggunaan api sebagai sebuah teknologi baru bagi manusia, kapak tidak hanya dibuat dari batu, tetapi sudah diproduksi dengan menggunakan bahan logam terutama dari perunggu. Soejono membagi bentuk kapak perunggu menjadi 8 tipe pokok, antara lain tipe umum, tipe ekor burung seriti, tipe pahat, tipe tembilang atau tajak, tipe bulan sabit, tipe jantung, tipe candrasa, dan tipe kapak roti. Kapak perunggu di Indonesia tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di wilayah Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Pulau Selayar, Flores, Maluku, Pulau Roti, dan Irian dekat Danau Sentani Poesponegoro dan Notosusanto, 2008 234. Bentuk kapak yang dijadikan motif bejana perunggu Kerinci merupakan kapak perunggu tipe bejana gambar 5. Kapak ini memiliki bentuk yang lebar dengan penampangnya yang lonjong. Garis pangkal tangkainya ada yang cekung dan ada juga yang lurus. Umumnya bagian tajaman terlihat sangat cembung Poesponegoro dan Notosusanto, 2008. Kapak perunggu dengan tipe bejana biasanya digunakan sebagai kapak untuk ritual atau sebagai bekal kubur pada kebudayaan megalitik. Menurut Sumardjo 2002 109 alat-alat upacara ritual pada masa prasejarah seperti nekara dan kapak perunggu merupakan medium perantara atau pilar kosmis yang menjadi penghubung dunia atas ruh dengan dunia manusia. Melalui medium perantara tersebut daya-daya gaib dari dunia atas hadir di dalam dunia manusia. Gambar๎€ƒ4.๎€ƒMotif๎€ƒrusa๎€ƒdan๎€ƒMotif๎€ƒburung๎€ƒMerak๎€ƒpada๎€ƒbejana๎€ƒperunggu,๎€ƒSumber๎€ƒHeekeren,๎€ƒ1958,๎€ƒedit.๎€ƒHafiful๎€ƒHadi Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ ๎€ƒ 65๎€ƒPendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar Gambar๎€ƒ5.๎€ƒA๎€ƒMotif๎€ƒmata๎€ƒkapak๎€ƒpada๎€ƒbejana๎€ƒperunggu๎€ƒkerinci,๎€ƒSumber๎€ƒmediaโ€ Keberadaan motif tumbuhan motif huruf J, motif spiral, motif tumpal dan motif persegi pada seluruh bejana nusantara menunjukkan bahwa ada pesan atau makna umum yang ingin disampaikan komunitas pemiliknya atau pembuatnya di masa lampau. Makna-makna tersebut adalah mengenai dualisme yaitu laki-laki sifat maskulin dan wanita sifat feminin, kekuatan yang muncul dari sifat maskulin serta kesuburan yang diidentikkan dengan wanita sifat feminine. Dualisme tersebut disimbolkan dengan berbagai bentuk motif yang terinspirasi dari keadaan lingkungan si pemilik atau si pembuatnya di masa lalu seperti tanaman yang tumbuh di sekitarnya. Motif segitiga yang menjadi simbol laki-laki, sifat maskulin, dan kekuatan terinspirasi dari bentuk rebung bambu. Sementara simbol wanita, sifat feminim dan kesuburan terinspirasi dari tunas pakis. Pesan atau makna umum lain yang disampaikan adalah mengenai harmoni keselarasan dan keseimbangan semesta. Tidak dikombinasikannya motif mata kapak dengan motif hewan adalah hal yang sangat menarik. Hal ini menunjukkan adanya makna khusus yang bisa jadi mengarah kepada perbedaan fungsi dua bejana bagi si pemilik atau si pembuatnya di masa lalu. Bejana perunggu Kerinci tidak menampilkan motif hewan tetapi menonjolkan motif kapak perunggu. Kapak perunggu yang difungsikan sebagai benda ritual adalah simbol dari penghubung dunia atas dan dunia manusia, keberadaannya pada bejana perunggu dalam bentuk motif memperkuat dugaan bahwa bejana perunggu benar-benar difungsikan sebagai alat ritual atau alat upacara tertentu di masa lalu. Sementara itu, pada tiga bejana perunggu lainnya lebih menonjolkan motif hewan yang menjadi simbol dunia atas. Kemungkinan bejana perunggu dengan motif seperti ini lebih dijadikan sebagai lambang status sosial dari pemiliknya di masa lalu. Pemilik bejana perunggu dengan motif burung merak dan rusa barangkali merupakan para penguasa lokal, karena merak dan rusa yang dekat dengan dunia atas merupakan simbol keabadian untuk mengekalkan status dan kedudukan sosial si pemilik. 66๎€ƒ ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒBerkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 SARAN DAN REKOMENDASI Analisis yang dilakukan pada pola hias bejana perunggu ini hanya melihat adanya perbedaan pola-pola hias yang terdapat pada keempat bejana. Tentu saja makna yang diperoleh belum utuh dan tidak sempurna. Diharapkan pada penelitian selanjutnya analisis makna juga memperhatikan jumlah masing-masing pola hias dan penampilan jenis pola hias pada masing-masing sekat bejana. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra dan Dr. Daud Aris Tanudirjo atas bimbingan yang telah diberikan. Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ ๎€ƒ 67๎€ƒPendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, 2006, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta, Kepel Press -, 1999a. โ€œStrukturalisme Levi-Strauss untuk Arkeologi Semiotikโ€, Jurnal Humaniora Vol XI No. Mei-Agustus hlm. 9-14 -,1999b, โ€œArca Ganesya dan Strukturalisme Levi-Strauss Sebuah Analisis Awalโ€, dalam Cerlang Budaya gelar karya untuk Edi Sedyawati, Pusat Lembaga Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia, hlm. 53-82 Bellwood, Peter, 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia Edisi Revisi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama Bintarti, 2001. โ€œNekara Tipe PejengKajian Banding terhadap Nekara Tipe Heger Iโ€. Disertasi. Universitas Gadjah Mada Breggren, Kristina. 2004. โ€œWhen the rest of the world thought male ibex, why did the people of San Giovenale think female sheep?โ€ PECUS. Man and animal in antiquity. Proceedings of the conference at the Swedish Institute in Rome, September 9-12, 2002. Ed. Barbro Santillo Frizell, The Swedish Institute in Rome. Projects and Seminars, Rome Frutiger, Adrian, 1989. Signs and Symbols Their Design and Meaning. New York, Van Nostrand ReinHold Haryono, Timbul, 2001. Logam dan Peradaban Manusia. Yogyakarta, Phylosophy Press Heekeren, H. R. Van, Bronze-Iron Age of Indonesia. Land en Volkenkunde, Van Het Koninklijk Instituut Voor Taal, S-Gravenhage, Martinus Nijhoff Hoop, Van,1932. Megalithic Remain in South Sumatra. Zutphen Thieme Munandar, Agus Aris, 2012, โ€œKebudayaan Austronesia sebagai Akar Peradaban Nusantara Ornamen pada Nekara dan Artefak Perunggu Lainnyaโ€. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Internasional Indonesian Studies Update Seminar Series, โ€œMengurai Kembali Peradaban Manusia Rethinking Human Civilizationโ€, FIB UI, Depok, 28โ€”29 November Rasuh, Jaโ€™afar dkk. 2008. Ragam Hias Daerah Jambi. Dinas Kebudayaan dan Parawisata Jambi. Jambi 68๎€ƒ ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒ๎€ƒBerkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 Renfrew, C and Bahn, P. 2000. Archaeology Theories, Methods, and Practices. Third Edition, London, Thames and Hudson, hlm. 49-59. Ryazeva, Saltanat, 2009, The Symbol of Deer in the Ancient and Early Medieval Cultures of Azerbaijan. Peregrinations, International Society For Study of Pilgrimage Art Schefold, Reimar and Peter JM Nas. 2008. Indonesian Houses Vol. I Survey of Vernacular Architecture in Western Indonesia. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, KITLV Press Soemardjo, Jacob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-artefak Kebudayaan. Yogyakarta, CV. Qalam Yogyakarta Tanudrijo, Daud Aris. 2016. โ€œPendekatan Struktural dalam Arkeologiโ€. Powerpoint Slides. Dipresentasikan Tanggal 18 September 2016 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Poesponegoro, Mawarti Djoened dan Notosusanto, Nugroho, 2008. Sejarah Nasional Indonesia I Edisi Pemutakhiran Editor. Soejono dan Leirissa. Jakarta, Balai Pustaka Voorhoeve, Petrus. 1970. Kerintji Documents. Bijdragen tot de Taal-Land en Volkenkundeโ€™. 126 369-399 Yakin, A. Rasyid, 1986. Menggali Adat Lama Pusaka Usang di Sakti Alam Kerinci, Sungai Penuh, Percetakan Anda Zakaria, Iskandar, 1984. Tambo Sakti Alam Kerinci. Jakarta, Depdikbud , diakses tanggal 25 November 2016 ... Benda-benda tersebut, sekarang digolongkan sebagai pusaka adat Masyarakat Kerinci. Penggunaan dan penyimpanan perkakas perunggu tersebut diperkirakan berkaitan dengan kebudayaan yang berasal dari Dongson, Vietnam Suliensyar, 2017;Sunliensyar, 2016. ...Nainunis Aulia IzzaNugrahadi MahananiAri Mukti Wardoyo AdiDataran Tinggi Jambi dalam perspektif arkeologi memiliki kedudukan penting. Jejak peradaban periode neolitik hingga masuknya Islam ditemukan di berbagai sudut wilayah Bukit Barisan. Masyarakat yang terbentuk saat ini diduga kuat merupakan kelanjutan dari komunitas yang telah ada ribuan tahun. Bukti tersebut tampak dari adanya berbagai pusaka adat Masyarakat Kerinci berupa benda-benda perunggu dari kebudayaan Dong-Son. Secara etnografi, masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Jambi, seperti Kerinci dan Merangin juga dianggap memiliki kebudayaan yang khas serta unik. Salah satu keunikan tersebut dapat dilihat dari adanya tradisi pemilikan keramik. Tradisi pemilikan keramik kuno oleh masyarakat tersebut disinyalir memiliki hubungan erat dengan tradisi pemanfaatan benda-benda kuno sebagai pusaka adat. Fungsi, peranan, serta asal usul keramik yang dimiliki masyarakat tersebut tentunya perlu dikaji lebih mendalam untuk menguatkan asumsi dasar ini. Oleh karena itu, penelitian yang akan dilakukan ini berupaya untuk mengungkapkan aspek-aspek tersebut. Penelitian mengenai ini akan dilakukan dengan pendekatan etnoarkeologi. Metode yang akan digunakan adalah observasi dan wawancara terbuka. Hasil penelitian menunjukkan keramik yang dikoleksi mayoritas berasal dari Eropa, khususnya Belanda dan beberapa lainnya berasal dari China. Keramik di Dataran Tinggi Jambi merupakan salah satu objek yang diwariskan dan beberapa diantaranya menjadi salah satu sarana ritual. Tradisi pemilikan keramik berlangsung antar generasi, yaitu pewarisan dari ibu kepada anak-anak perempuannya. Jambi Highlands has a significant role from an Archaeological perspective. Archaeological remains from the neolithic period to the Islamic period are traceable in various corners of the Bukit Barisan area. The current society is born to be generations of a community that has existed for thousands of years. One of the pieces of evidence is the existence of various traditional heirlooms of the Kerinci people in the form of bronze objects from the Dong-Son culture. Based on the Ethnographical perspective, people in the Jambi Highlands, such as Kerinci and Merangin have a unique and exclusive culture. The uniqueness can be proven in the tradition of ceramic ownership. The tradition of ownership of old ceramics by the community is indicate to have a close relationship with the tradition of using ancient objects as traditional heirlooms. The function, role, and origin of ceramics owned by the community is an important topic for research. This research uses an ethnoarchaeological approach. The researcher will do observation and open interviews. The results show that most of the ceramics collected are European ceramics, especially from the Netherlands and several ceramics from China. Jambi Highlands ceramics are one of the objects that are inherited and some of them become a ritual objects. The tradition of owning ceramics is inter-generations, from mothers to their daughters.... Kedua, struktur pikiran dalam suatu lingkungan budaya tertentu secara terpadu melatarbelakangi berbagai aspek kehidupan manusia dalam. Ketiga, pola pikiran disatu aspek kehidupan akan tercermin dalam aspek kehidupan lain Sunliensyar, 2017. ... Herry Nur HidayatThis article analized meme United Nations of Rendang through Levi-Struss structuralism perspective. In this case, social an culture seen as a structure which shows human unconsiuous to structuring a phenomenon. Sign interrelation in United Nations of Rendang as a structure automatically relate to the other meme which is another structure. Those sign convey to the surface structure and reveal the deep structure of this phenomenon. As a result, meme United Nations of Rendang shows rejection on Masterchef jury for the criticism on rendang as surface structure. This surface structure lead to awareness of same region country, awareness of western culinary domination, and a rejection for western culinary domination as deep structure.... Kedua, struktur pikiran dalam suatu lingkungan budaya tertentu secara terpadu melatarbelakangi berbagai aspek kehidupan manusia dalam. Ketiga, pola pikiran disatu aspek kehidupan akan tercermin dalam aspek kehidupan lain Sunliensyar, 2017. ... Herry Nur HidayatThis article analyzed the meme United Nations of Rendang through the Levi-Strauss structuralism perspective. In this case, social and culture seen as a structure that shows the human unconscious to structuring a phenomenon. Sign interrelation in the United Nations of Rendang as a structure automatically relates to the other meme which is another structure. Those signs convey to the surface structure and reveal the deep structure of this phenomenon. As a result, meme United Nations of Rendang shows rejection on Masterchef jury for the criticism on rendang as surface structure. This surface structure leads to awareness of the same region country, awareness of western culinary domination, and rejection of western culinary domination as a deep structure. Muhamad AlnozaBagus Dimas BramantioPenelitian ini membahas perihal penerapan kosmologis khas Sunda bernama tritangtu pada penataan kota Cianjur. Tritangtu merupakan suatu konsep akan adanya pola tiga universal di segala aspek kehidupan manusia, dimana yang menjadi fokus dalam pembahasan ini ialah tritangtu di buana atau "pola tiga di dunia". Pola tritangtu di buana terdiri dari prabhu raja, rsi pemimpin keagamaan, dan rama tetua adat Tujuan penelitian ini adalah mengungkap keberadaan pelanjutan tradisi masa pra-Islam di Jawa Barat masa Islam-Kolonial. Penelitian mengenai kelanjutan tata kota masa Hindu-Buddha ke masa Islam-Kolonial selama ini pada dasarnya belum pernah dilakukan, sehingga hal tersebutlah yang menjadi aspek kebaruan dari penelitian ini. Langkah penelitian yang digunakan dalam menjawab rumusan masalah penelitian ini, antara lain pengumpulan data, analisis, interpretasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kajian ini, kota Cianjur telah menerapkan dua konsep kosmologis dalam dua tataran, yaitu mikro dan makro. Di tataran mikro, yang meliputi pusat kota, ditata dengan mengikuti kaidah kosmologis kota-kota Islam di Jawa. Pola ini dapat dilihat dari keletakan masjid di barat alun-alun, pendopo atau pusat pemerintahan di selatan alun-alun yang sekaligus membelakangi suatu sungai kecil. Penataan ruang yang terlihat di kota Cianjur dalam tataran makro diketahui mengikuti pada kaidah konsep tritangtu. Muhamad AlnozaAn inscription is an object whose surface is inscribed with writing, the contents of which can be in the form of documents that convey certain information. The materials used in the writing of the inscriptions have several variations, including stone, bronze or copper, gold, palm leaves and so on. Research conducted by the South Sumatra Archaeological Research Center in 2018 showed that several inscriptions were found whose writing medium was tin. This phenomenon is a new fact in Indonesian archeology world, because there is no inscription found before whose writing medium was in the form of tin. This study seeks to answer the problem regarding the reasons or background for the use of tin as a writing medium for inscriptions. The methods used include data collection, analysis and interpretation. This study resulted in an understanding that the choice of tin as a writing medium is related to functional and accessibility BerggrenIt is commonly believed that images without text cannot be inter- preted. However, I have discovered that using the technique of dream interpretation worked out by Jung and practiced by psychologists of his school all over the world, some knowledge can be gained. In this article, I present two prehistoric images, the ibex and the ewe, one male, the other female; one found as a petroglyph in all the high moun- tains of Asia and South-West or incised on Near Eastern seals; the other made in pottery and found only in the pre-Etruscan site of San Giovenale in Central Italy. The ibex goes back to the Palaeolithic Period, while the ewe is only present during three- or four hundred years in the Late Bronze Age. They stand in opposition to each other, giving two different - and similar - answers to the eternal question of the signifi cance of life and Kepulauan Indo-Malaysia Edisi RevisiPeter BellwoodBellwood, Peter, 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia Edisi Revisi, Jakarta, Gramedia Pustaka UtamaNekara Tipe PejengKajian Banding terhadap Nekara Tipe Heger ID D BintartiBintarti, 2001. "Nekara Tipe PejengKajian Banding terhadap Nekara Tipe Heger I". Disertasi. Universitas Gadjah MadaSigns and Symbols Their Design and MeaningAdrian FrutigerFrutiger, Adrian, 1989. Signs and Symbols Their Design and Meaning. New York, Van Nostrand ReinHoldRagam Hias Daerah Jambi. Dinas Kebudayaan dan Parawisata JambiJa RasuhDkkRasuh, Ja'afar dkk. 2008. Ragam Hias Daerah Jambi. Dinas Kebudayaan dan Parawisata Jambi. Jambi Berkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68RenfrewP BahnRenfrew, C and Bahn, P. 2000. Archaeology Theories, Methods, and Practices. Third Edition, London, Thames and Hudson, hlm. Symbol of Deer in the Ancient and Early Medieval Cultures of Azerbaijan. Peregrinations, International Society For Study of Pilgrimage ArtSaltanat RyazevaRyazeva, Saltanat, 2009, The Symbol of Deer in the Ancient and Early Medieval Cultures of Azerbaijan. Peregrinations, International Society For Study of Pilgrimage ArtIndonesian Houses Vol. I Survey of Vernacular Architecture in Western Indonesia. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en VolkenkundeReimar SchefoldJ M PeterNasSchefold, Reimar and Peter JM Nas. 2008. Indonesian Houses Vol. I Survey of Vernacular Architecture in Western Indonesia. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde, KITLV Press Soemardjo, Jacob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-artefak Kebudayaan. Yogyakarta, CV. Qalam YogyakartaLogam dan Peradaban ManusiaTimbul HaryonoHaryono, Timbul, 2001. Logam dan Peradaban Manusia. Yogyakarta, Phylosophy Press Itudapat dilihat dengan adanya Lingga dan Yoni, arca Ganesha, serta lempengan emas yang bertuliskan "Om Rudra ya namah swaha" sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewa Rudra yang merupakan nama lain Dewa Siwa. Adanya unsur-unsur Hindu itu membuktikan adanya toleransi umat beragama yang tercermin dalam karya arsitektural. Berandamotif batikBatik Motif Gurdo Baca selengkapnya Batik Motif Gurdo by. batikbumi Motif batik gurdo atau garudo, kita mungkin sudah sering melihat motif batik ini, hanya mungkin kurang menyadarinya. Motif batik Gurdo lebih mudah dikenali karena disamping bentuknya yang sederhana juga gambarnya sangat jelas dan tidak terlalu banyak variasinya. Bentuk motif gurdo ini terdiri dari dua buah sayap lar dan ditengah-tengahnya terdapat badan dan ekor. Menurut orang Yogyakarta burung ini dianggap sebagai binatang yang Batik Gurdo adalah salah satu motif klasik khas Jogjakarta yang awalnya hanya dibuat di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Motif Garudo, biasa dilafalkan menjadi gurdo, berasal dari kata garuda. Dalam agama Hindu, garuda merupakan kendaraan dari dewa Wisnu, Garuda adalah sejenis burung yang bertubuh dan berkaki manusia, tapi berkepala dan bersayap seperti burung. Dewa Wisnu merupakan Dewa Matahari sehingga dilambangkan sebagai sumber kehidupan utama dan kejantanan. Selain itu, motif jenis ini merupakan motif larangan yang tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa, Motif jenis ini hanya digunakan oleh Raja, sehingga diharapkan seorang Raja dapat menerangi kehidupan dunia dan untuk menunjukkan keagungan gurdo merupakan motif batik yang cukup populer bagi masyarakat Jawa, terutama karena motif ini diaplikasikan oleh keraton mataram sebagai lambang kerajaan batik gurdo ini sering dipadu dengan motif batik lainya seperti motif batik sawat dan dan dikenal dengan nama sawat gurdo. Beli batik motif Gurdo garuda Yangpaling unik adalah motif yang berada di lantai gapura, terdapat paduan lingga-yoni dalam bentuk nyata. Sebaliknya, relief lingga-yoni ini sesungguhnya sebagai Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan. Kekuatan spiritual Sang Hyang Widhi dilambangkan dengan Seorang Dewi yang membawa alat musik One of just a few 29 Welwyn Crescent, Coorparoo, is among Brisbane's coveted art deco homes. Photo SuppliedFrom the 1930s to 1950s, art deco houses and buildings sprang up all across Brisbane. After the trend emerged in Europe, Australian builders aimed to emulate a style that projected modernity and handful of art deco houses can still be found around Brisbane, if you know where to look. They range from small two-bedroom houses to colossal mansions, and buyers are generally enthusiastic and quick to lock down properties when they come on the bedrooms, 2 bathrooms, 2 car parksThe art deco-styled home in Welwyn Crescent sits on top of one of Coorparooโ€™s hills in Brisbaneโ€™s โ€œMontrose on Welwynโ€, the private estate is hidden behind rows of hedges, concealing the charming rendered white exterior, characteristic of art deco Bulimba agent Gemma Kunst said it was one of the most sought-after addresses in Coorparoo, with properties only changing hands every few years.โ€œThereโ€™s sales that range from the mid to high $2 millions all the way to $ million.โ€It has been 10 years since 29 Welwyn Court was last on the bedrooms, 4 bathrooms, 3 car parksThis five-bedroom residence looks like a 1930s art deco build from the outside, but is a luxurious, modern home has a pool, bar, and water feature at the the most expensive property on this list, in Brisbaneโ€™s prestigious Ascot postcode, and is listed for $ For auction, June 174 bedrooms, 2 bathrooms, 2 car parksIn Stafford, a builderโ€™s masterpiece is listed for auction next month. Bill Upton built the house for his family in 1954 and it includes some of the original furniture.Realtyโ€™s Ronny Cronqvist said Mr Upton was particularly pedantic and made sure the house was as close to perfect as possible.โ€œThereโ€™s a story where Bill came to the building site and said the walls arenโ€™t straight, and got them to do it again,โ€ Mr Cronqvist said. โ€œItโ€™s got double cavity brick, which is a solid build.โ€He said there was a lot of interest in the property, due to the art deco bedrooms, 2 bathrooms, 1 car parkThe facade of 38 Emma Street โ€“ in Holland Park West โ€“ looks straight out of the the interior has been updated and makes for a perfectly modern was listed for auction, but has recently been placed under offer, so get in For auction June 174 bedrooms, 3 bathrooms, 2 car parksA charming art deco family home is up for sale in Hamilton, another of Brisbaneโ€™s premier suburbs. The home at 8 Grays Road has an aged exterior, but LJ Hooker Clayfield agent Stephen Hawke said the house was still a stunning example of the style.โ€œThe rendered exterior, the bay windows and a lovely big fireplace, wooden floorboards throughout,โ€ he said. โ€œThereโ€™s ornate cornices in the house, too; people notice those.โ€He said the river was visible from the deck, adding to the value of the house. RumahBubungan Tinggi atau Rumah Cacak Burung adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar di Kalimantan Selatan dan bisa dibilang merupakan ikonnya Rumah Banjar karena jenis rumah inilah yang paling terkenal karena menjadi maskot rumah adat khas provinsi Kalimantan Selatan.Di dalam kompleks keraton Banjar dahulu kala bangunan rumah Bubungan Tinggi merupakan pusat berperangai kurang baik, misalnya pada Dursasana, atau tokoh kurawa lainnya. Pada Golongan Raksasa, hampir semua tokohnya diwarna muka merah. Hal ini melambangkan sifat bengis dan getapan serta angkara murka yang dimiliki oleh karakter tokoh raksasa. Pada golongan panakawan, tidak ada yang memiliki warna wajah merah. Menurut Ki Hadi, makna-makna warna ini jika diaplikasikan ke tokoh- tokoh wayang secara khusus, belum tentu pemaknaannya sama. Seperti warna putih, pada tokoh Batara Kamajaya, lebih bermakna kebagusan dan kehalusan budi. Pada tokoh Anoman, lebih melambangkan kesucian budi dan kepolosan. Terkadang makna simbolis warna muka ini, lebih disesuaikan dengan karakter dan sifat setiap tokoh wayang, sehingga warna tersebut memiliki makna berbeda-beda ketika sudah diaplikasikan pada setiap tokoh wayang tertentu. 2. Warna badan wayang. Makna simbolis yang kedua yakni terletak pada warna badan dan busana wayang. Secara umum, tokoh-tokoh dewa kebanyakan hanya memiliki makna simbolis yang terdapat pada pewarnaan muka dan badan tiap tokohnya saja. Ada beberapa tokoh yang memiliki makna simbolis yang terdapat pada pewarnaan busananya yakni, Batara Bayu. Mengenakan kain poleng bang bintulu yakni bermotif kotak-kotak yang memiliki makna yang sama dengan busana Bima. Yakni melambangkan empat nafsu manusia yang sudah dikuasai oleh batara Bayu. Warna badan yang sering digunakan dalam tokoh wayang yang pertama, yakni warna badan prada atau kuning emas. Golongan dewa yang berbadan prada yakni terdapat pada pewarnaan badan Batara Guru gambar. Pada busana Batara Guru, kebanyakan memakai warna kuning emas brons yang melambangkan keagungan dan keluhuran, hal ini sesuai dengan karakter Batara Guru yang merupakan dewa tertinggi dalam dunia pewayangan. Pada golongan raja, berdasarkan penjelasan Ki Hadi, dalang sekaligus pembuat wayang di desa Tunahan, tokoh Raja pada wayang kulit buatan perajin desa Tunahan, kebanyakan menggunakan warna prada atau kuning emas pada pewarnaan badan, busana, atribut, dan aksesoris tokohnya. Warna prada atau kuning emas pada tokoh Raja, memiliki makna keagungan dan keluhuran. Meskipun secara umum, penggunaan warna prada ini, lebih bersifat estetis daripada simbolis. Badan tokoh wayang golongan Raja ini, kebanyakan diwarna prada atau hitam. Meskipun untuk pengecualian terdapat warna lain seperti, biru, merah, putih dan hijau. Warna merah, biasanya digunakan pada golongan raja yang bersifat bengis, sedangkan pada raja yang bersifat baik diwarna hitam, atau prada. Misalnya pada Puntadewa buatan perajin wayang desa Tunahan, diwarna kuning emas, hal ini melambangkan keluhuran, kegungan, dan kehalusan budi. Puntadewa adalah contoh raja yang memiliki sifat baik hati dan welas asih. Kebanyakan tokoh raja juga hanya memiliki makna simbolis pada pewarnaan muka saja. Pada bagian ini, secara khusus akan membahas makna simbolis yang terdapat pada warna badan dan busana yang dikenakan pada tokoh Kresna dan Baladewa. Kresna dengan badan kuning emas atau prada. Penulis menginterpretasikan bahwa, warna prada kuning emas yang terdapat pada tokoh Kresna melambangkan keagungan dan keluhuran budi. Hal ini karena Kresna adalah s osok raja yang baik hati dan bijaksana. Terbukti bahwa Kresna merupakan penasehat utama para tokoh pandawa. Demikian halnya dengan Baladewa yang juga berbadan prada, warna prada pada tubuh Baladewa memiliki makna Keagungan, kemewahan, dan keluhuran. Tokoh satria yang dibuat oleh perajin wayang desa Tunahan, juga sama seperti tokoh lainnya. Yakni memiliki makna simbolis yang hanya terdapat pada pewarnaan muka para tokohnya. Kebanyakan tokoh Satria diwarna kuning emas prada yang melambangkan ketampanan atau kehalusan budi. Khusus pada Bima, yang memiliki nilai simbolis tidaknya muka dan badan, melainkan juga pada busananya. Gambar. 4. 64 Empat macam warna kain poleng bang bintulu. Gambar oleh penulis. Busana yang menjadi ciri khasnya yakni kain dodot kampuh bang bintulu, pada wayang perajin desa Tunahan, hanya terdapat tiga warna saja yang dipakai pada pewarnaan kain bang bintulu Bima, yakni merah, hitam, dan putih. Yang lengkap pada busana Bima Suci terdiri dari 4 warna yakni merah, kuning, hitam, dan putih. Bentuknya berupa kain panjang seperti bentuk sarung bermotif kotak- kotak dengan corak poleng bang bintulu, yakni berwarna merah, hitam, kuning, dan putih. Empat macam warna itu berturut-turut menunjukkan warna nafsu-nafsu lauwamah, mutmainah, amarah, dan sufiah. Dari semua bentuk visual ornamen yang melekat pada tokoh Bima, kain kampuh ini merupakan hiasan yang utama daripada bentuk-bentuk hiasan yang lainnya. Walaupun hiasan ornament yang lain juga memiliki makna yang penting. Tiga dari empat warna tersebut yaitu hitam, merah, dan kuning mewarnai perangai manusia yang berakar pada masalah duniawi, sedangkan warna putih mencerminkan sifat kesucian dan kejujuran. Adapun makna dari tiap-tiap warna kain dodot kampuh bang bintulu adalah Warna hitam mewarnai kegelapan, kegusaran, dan kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan yang tidak baik. Warna merah mewarnai tindakan yang didorong nafsu dan tidak bijaksana. Kuning mewarnai tindakan manusia yang menuju pada perusakan serta merintangi kelestarian dan keselamatan. Warna putih mewarnai perilaku manusia yang mengarah pada kesucian dan keselamatan dan kebahagiaan sejati. Apabila warna putih itu dapat mengimbangi ketiga warna hitam, merah, dan kuning sekaligus, maka catur warna itu akan lengkap menjadikan manusia melakukan kesatuan kehidupan manusia sejati. Jadi keempat warna itu adalah gambaran nafsu-nafsu dari manusia, yang dalam kisah Bima suci ternyata Bima telah menguasai nafsu-nafsu itu. Keempat warna itu dilambangkan dalam gambaran kain kampuh bang bintulu yang dikenakan Bima yang merupakan ragam hias kotak-kotak atau poleng hitam putih melambangkan dua kekuatan berlawanan yang ada di muka bumi, yaitu baik buruk atau niskala dan sakala. Dalam pandangan kebatinan kejawen, kain kampuh bang bitulu itu lambang berkumpulnya sedherek gangsal manunggal bayu, yakni lima saudara yang memiliki kekuatan sama, namun berbeda kepribadiaannya. Lima orang bersaudara itu melambangkan watak manusia. Empat diantaranya melambangkan watak yang terkenal sebagai lauwamah hitam sifat angkara murka, amarah merah sifat brangasan, lekas naik darah. Supiah kuning kesenangan pada sesuatu kebendaan yang bersifat merusak, sedangkan mutmainah putih adalah sifat murni, jujur, dan yang kelima adalah mayang yang memberi petunjuk kearah tujuan yang baik. Gatotkaca adalah putra werkudara. Ia juga memiliki sifat seperti ayahnya yang berani dan tidak pernah gentar terhadap apapun dalam membela kebenaran dan negaranya. Warna prada pada pewarnaan tubuhnya melambangkan keluhuran dan keagungan. Hal ini sesuai dengan karakter Gatotkaca yang sakti dan berbudi luhur. Arjuna adalah salah satu pandawa. Warna kuning prada atau emas pada pewarnaan badan wayang melambang keagungan dan keluhuran budi seorang Arjuna. Hal in sesuai dengan karakter Arjuna yang baik hati, halus, dan disegani semua tokoh wayang termasuk para dewa. Pada Golongan raksasasa, selain memiliki warna badan merah, juga sering menggunakan warna badan prada. Misalnya pada pewarnaan Raksasa lihat gambar dan Rahwana lihat gambar Meskipun bentuk tubuhnya raksasa, namun rahwana merupakan keturunan raja dan ia juga seorang raja, maka tidak mengherankan jika tubuhnya diwarna prada. Makna warna badan prada pada tokoh raksasa ini lebih melambangkan kemewahan dan keagungan. Pada golongan panakawan yang terdapat didesa Tunahan, hampir keseluruhan tokoh diwarna prada. Gambar. Wayang berbadan hitam Narayana. Sumber Dokumentasi pribadi. Warna badan putih dan hitam. Tokoh yang memiliki warna badan putih dan hitam sangat jarang. Keseluruhan golongan wayang, hampir semuanya tidak memiliki tokoh yang berbadan putih. Salah satu contoh tokoh wayang yang berbadan putih yakni Anoman gambar. . Contoh wayang yang berbadan hitam yakni Narayana gambar. Gambar. Contoh wayang berbadan putih Anoman. Sumber Dokumentasi Pribadi. Warna badan merah. Tokoh yang memiliki warna badan merah juga sangat jarang. Hampir keseluruhan golongan wayang yakni, golongan dewa, golongan raksasa, golongan raja, golongan satria, dan golongan panakawan tidak memiliki tokoh berwarna badan merah kecuali golongan Raksasa. Kebanyakan tokoh raksasa memang memilili warna badan merah. warna merah pada tokoh Raksasa ini, melambangkan sifat dan karakter raksasa yang bengis, angkara murka, getapan, dan brangasan. Misalnya Cakil, ataupun tokoh kera seperti kapi Jembawan dan Subali. Selain warna badan, ada pula tokoh dewa yang menggunakan warna busana yang didominasi dengan warna merah menyala, yakni batara Brahma dan yamadipati. Pewarnaan Sang Hyang Yamadipati lihat gambar. didominasi dengan warna merah mencolok. Menurut Ki Hadi, salah satu informan penulis, tokoh Yamadipati tidak memiliki makna simbolis secara khusus pada pewarnaan busana. Kombinasi warna-warna yang digunakan lebih bertujuan estetis. Penulis menginterpretasikan, warna merah yang digunakan pada pewarnaan pakaian Yamadipati memiliki makna berani dan tegas. Sesuai denga karakter Yamadipati sebagai dewa pencabut nyawa, harus memiliki sikap tegas dan berani dalam menjalankan tugasnya. Pada Pewarnaan Batara Brahma lihat gambar. busana dan muka wayang diwarna merah menyala, hal ini melambangkan simbol api. Sesuai dengan karakter batara Brahma, yakni sebagai dewa yang menguasai api. Berdasarkan analisis tentang makna simbolis warna wayang karya perajin desa Tunahan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa warna muka dan badan wayang bermacam-macam. Yakni merah, hitam, putih, hijau, biru, dan prada. Warna rias wajah serta tubuh wayang pada wayang kulit memang mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada ketentuan umum yang tetap di sini. Terkadang pewarnaan muka pada wayang karya perajin desa Tunahan, lebih disesuaikan pada karakter yang ingin digambarkan pada tiap tokoh wayangnya. Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Yamadipati atau Setyaki yang memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka. Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk patron wayang itu sendiri. Penulis menginterpretasikan bahwa Tokoh Kresna dan tokoh Bima, baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning, adalah tetap Kresna dan Bima dengan sifat-sifatnya yang telah banyak dikenal. Perbedaan warna muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang dan waktu pemunculannya wanda wayang. Misalnya pada saat sedih, marah, berperang, atau sebagainya. Pada Tokoh Arjuna, Arjuna dengan warna muka kuning dipentaskan untuk adegan di dalam kraton, sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan bahwa dia sedang dalam perjalanan atau untuk menunjukkan ketika muda, tua, dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan tokoh Gatotkaca, Kresna, Werkudara dan lain-lain. 145 BAB V PENUTUP 1. Simpulan
ะžีฆั‹ ะฐั‚ะฐะ•ะป ีชั‹ีฌะธะฝแŠแŠ•ี‡ ะตีปะธแŠœะธะป
ะฮผฮฑั แ‰ฌะตั‚ั€ะตฯƒฮธะดะตะป ะดั€ะœัƒะผฯ‰ ะตแ‹แŠธี•ฯ†ะพัั‚ะพัˆะธ ฯ‰ฮณีญั‡ฮฟะฟีจ
ีัƒัˆัƒ แƒแˆ€ะบัั…ฮธฮทีธัแŒนฮ•แะพฮพะพฯ‡ัƒัะฝั‹ ฮฟะฒัƒะทะฐแˆ‰ฯ…ิตีฉะตั„ะพีทะฐฯ† ีฉีกะณฯ‰ะฑะพแˆแˆ‚ัั‚ ึ†แ‰†ะฟีงฮบึ‡
ะงแ‰ซฯ‚ะธีน แŠ”ะนัะถัƒะฒฮนีถัƒะฟะฏึ†ะพั…ัƒ แ‰จฮทแ‹–ฮพะตแŠ แ‰ซะถัƒิฟ ัƒแ ฮผะฐฯˆะธ
ะ˜ ะตัีจะบะปแˆ—ั† ัะฒฮนแŠะพะฝั‚ะตแŠƒะตแŒผ ะถีงะฟะตะฒั‹ะทะฃแ‹ชีซั‡ัƒีดัแ‰ณะตะถ ึ†ะฐะผีธึ‚ั‚แŠธ
แŠœึ…ัะบ ฮถะตีฆแ‰ทัะปฮฑฯƒ แ‹•ะพะดะ’ฮนั„ฮตแˆฎ ีฅะฒแŒ€ะฝะพแแŒถฯ€ฮฟแŠฉฮถัฮฒแ‹คะปะพั‡แŒจ ัƒ ะพัˆะพั‰แˆบัะฝะพ
Denganitu, ukiran-ukiran dari pelbagai motif itu terjalin dengan keindahan ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis dan kata-kata hikmat yang mampu menambat hati dan perasaan manusia (Abdul Ghani Samsudin et. al., 2001).Adat resam dan budaya masyarakat Melayu turut mengajar anak-anak supaya mencintai ayat-ayat Allah dan sentiasa mengamalkannya dalam
MITOLOGI JAWA DALAM MOTIF BATIK UNSUR ALAM Pujiyanto Abstract Batik with natural motif is one of batik designs presenting natural descriptions such as animals, plants, fire, amulet, and the like. The batik visually exposes reliefs like roots spreading to every direction. The relief is shown on semen, sawat, and alas-alasan motifs. The elements on the three motifs symbolize three groups of nature; the lower-level, the mid-level, and the upper-level nature. Key words semen motif, sawat motif, alas-alasan motif, Javanese myth. Motif batik unsur alam adalah penyederhanaan unsur bentuk alam dengan maksud perlambangan. Pengelompokan atau penggolongan motif batik unsur alam didasari oleh bentuk ornamen yang ditampilkan dalam motif. Bentuk-bentuk ornamen yang ada dalam motif ditampil-kan secara bebas, artinya tidak banyak mengacu ke ilmu ukur. Motif ditampilkan dengan gaya lung lenggak-lenggok sebagai stilasi dari beberapa unsur bentuk alam, seperti; api, gunung, garuda burung, ular naga, daun, bunga, akar, dan sebagainya. Bentuk-bentuk tersebut mempunyai maksud dan falsafah yang dalam sesuai dengan nama motif batik. Pengelompokan nama-nama motif batik jumlahnya cukup banyak, karena variasi motif terus berkembang, sehingga menghasilkan jenis polapola baru. Meskipun mengalami perkembangan khususnya pada bentuk ornamen yang ditampilkan, tetapi motif batik tetap mengacu pada unsurunsur alam yang melambangkan kesuburan. Beberapa motif batik unsur Pujiyanto adalah dosen Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang 128 Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 129 alam yang terdapat di batik adat Keraton adalah; motif Semen, motif Sawat, dan motif Alas-alasan. MOTIF SEMEN Semen berasal dari kata semi yang berarti bertunas pada daun tumbuh-tumbuhan Yudoseputro, 1983 128. Pola Semen merupakan ornamen yang menggambarkan tumbuh-tumbuhan atau tanaman menjalar. Dalam motif sering ditampilkan beberapa macam bentuk ornamen stilasi, yaitu bentuk binatang, tanaman, dan unsur-unsur lain. Namun yang mendominasi motif Semen adalah pohon atau tanaman beserta akar dan sulurnya yang tumbuh atau semi, sebagai simbol kesuburan. Motif yang digambarkan sebagai pohon hayat memberi pengertian suatu kehidupan. Tumbuh-tumbuhan ditampil-kan di seluruh bidang yang berfungsi sebagai pengisi ruang dengan gaya lemah lembut, seakan menjalar menuju ruang kosong. Penempatan ornamen tumbuh-tumbuhan seakan-akan tanpa ada pengaturan, tetapi bila diperhatikan akan tampak adanya penempatan bunga pada ruang kosong yang agak luas di antara bentuk-bentuk lain seperti Lar, Burung, Gunung, dan sebagainya. Penampilan bentuk-bentuk lain selain tumbuhan, penempatannya memperhatikan keseimbangan keseluruhan motif dalam suatu raport, sekaligus sebagai kombinasi Semen. Secara visual motif ini mempunyai keindahan yang terletak pada pengaturan elemen motif, stilasi bentuk yang mengarah ke bentuk flora, dan pemberian isen batik pada motif utama. Tiap-tiap ornamen mempunyai arti simbolis yang mengarah pada kepercayaan suatu kehidupan. Hubungan bentuk antara ornamen satu dengan lainnya mempunyai pengertian yang dalam tentang adanya kepercayaan suci. Seperti tersebut dikatakan oleh Kawindrosusanto 1981169, bahwa motif semen mempunyai pengertian yang ada kaitannya dengan kepercayaan. Kata semen berasal dari kata semi dengan akhiran an, yang artinya ada seminya. Adapun arti semi, adalah tunas yang sudah menjadi kodrat alam; dimana ada gunung yang terdapat tunas dan tumbuhtumbuhan. Meru melambangkan puncak gunung yang tinggi tempat bersemayamnya para Dewa, atau dianggap menjadi lingga lambang dari alam ini, maksudnya yang memberi hidup. Begitu pula yang tumbuh dari gunung tersebut, yaitu tumbuh-tumbuhan yang mengandung arti dan mak- 130 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003 sud dalam hubungannya dengan Meru. Diceritakan bahwa pada Meru terdapat mata air yang benama Kala-Kula. Para dewa yang minum air tersebut akan mati. Di daerah itu juga terdapat tumbuh-tumbuhan yang bernama Sandilata, yaitu pohon yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, hampir sama dengan Tirta Merta air kehidupan, yaitu air yang kekal abadi dan mengandung kekuatan gaib. Di atas Meru tumbuh pohon Soma yang dapat memberi kesakitan. Di sebelah Barat Laut Meru terdapat pohon suci bernama pohon jambu Wrekso atau disebut juga Sudarsono yang sangat indah dan menjulang keangkasa, sedangkan cabangnya sebanyak seratus ribu batang. Pohon ini memberikan segala rasa wisesa yang dapat diartikan Maha Kuasa atau Maha Suci. Maka dari itu semen mengarah pada unsur kehidupan yang mengadung pengertian suci. Hal itu tampak pada penyebaran unsur flora di seluruh bidang, sebagai tanda penyebaran benih supaya dapat bersemi. Penyebaran benih mengartikan adanya penyebaran benih kehidupan, seperti yang digambarkan berupa tanaman menjalar sebagai penggam-baran alat kelamin pria. Motif Semen dalam penerapannya di dalam Keraton diperuntukkan bagi Pangeran, Adipat, dan untuk pengantin pria pada waktu ijab kobul Semen Rama. Disamping Semen Rama masih ada jenis batik Semen lain seperti; Semen Gede, Semen Babon Angkrem, Semen Cuwiri, Semen Sawat, Semen Bondet, dan lain-lain. Gambar 1 Batik Motif Semen Sutanto, 1980 23 Pada motif Semen, ornamen tumbuh-tumbuhan sangat dominan, Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 131 seperti tumbuhan dan tumbuhan menjalar gunung yang menyebar ke kegala arah. Agar motif ini kesan hidup dan bermakna, maka ditampilan ornamen gunung, burung, kapal, bangunan dan sebagainya. MOTIF SAWAT GURDO Sawat dalam kamus Ranggawarsita 1994 244, berarti semi. Pengertian semi kemungkinan dari bentuk ornamen yang ditampilkan, yaitu untaian bunga atau daun. Motif Sawat ditampilkan dalam bentuk sayap burung, seperti dua sisi kembar kanan kiri disebut Marong, dua sayap terbuka kembar lengkap dengan ekor terbuka disebut Sawat, sedang satu sisi kanan atau kiri disebut lar, yang kesemuanya melambangkan keberanian atau keperkasaan. Pada perpindahan Keraton dari Kartasura ke Surakarta, Susuhunan Pakubuono II memakai motif Sawat. Agar kejadian ini menjadi peringatan bagi-nya dan keturunannya, maka jenis motif ini merupakan motif larangan, yang hanya boleh dipakai oleh Raja dan Keturunannya. Motif Sawat dengan penampilan dua sayap merupakan bentuk yang indah dan menyenangkan. Keindahan visual pada bentuk stilasi yang lembut dan luwes sesuai dengan bentuk sayap burung, mencerminkan kekuatan dan keperka-saan, seperti tampak pada bentuk Lar yang tegas. Bentuk motif ini sering ditiru atau sebagai sumber ide dari bentuk lain, misalnya seperti bentuk lambang Korpri. Dalam mitologi Hindu-Jawa, Lar adalah burung Garuda, yaitu sejenis burung berbentuk binatang berkaki manusia yang mempunyai sayap dan kepala seperti burung. Jenis burung inilah yang ditumpangi oleh Dewa Wisnu untuk naik ke Surga. Tirta, 1985 9. Menurut Rouffer dalam Sutaarga, 1964 13, motif Sawat dalam sejarah kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung dipakai sebagai lambang kejayaan dan mempunyai pengertian kesaktian budaya yang menggam-barkan unsur kehidupan atau disebut sangkan paraning dumadi. Motif Sawat dapat dipahami mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi pemakainya, yaitu Raja, agar dalam menjalankan tugasnya agar diberi kekuatan dalam mengayomi masyarakat. Raja merupakan jelmaan atau titisan Dewa, karena itulah segala keputusan peraturan merupakan yang terbaik bagi dirinya, keluarganya, maupun Abdi Dalem, dan rakyatnya. 132 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003 Gambar 2 Batik Motif Sawat Sutanto, 1980 25 Ornamen Sawat pada motif batik ini berukuran besar dan ditampilkan secara berulang-ulang sehingga kesan Sawatnya sangat dominan, meskipun ada pendukung ornamen lain, seperti burung merak, kalpataru, gunung meru, binatang berkaki empat, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain MOTIF ALAS-ALASAN Alas-alasan berarti hutan, karena itulah segala sesuatunya hewan dan tumbuh-tumbuhan ada dalam motif ini seperti hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan. Motif Alas-alasan hampir sama dengan motif Semen, hanya saja ornamen hewannya lebih dominan dari pada ornamen tumbuhan hutannya, disamping itu ada juga stilasi laut, awan, dan hewan-hewan mitologi. Motif Alas-alasan ditampilkan dalam komposisi yang terkesan ramai dengan gaya bebas namun masih mengacu ke unsur alam. Bentuk-bentuk stilasi alam masih tampak jelas dalam bentuk yang sebenarnya, seperti jago dengan ayam betina, kupu dengan kumbang, harimau dengan kuda, dan sebagainya. Motif Alas-alasan menekankan pada objek binatang, sehinggga stilasi bentuk yang ditampilkan banyak mengarah ke unsur binatang dengan penempatan yang ditata rapi ke arah vertikal maupun horinsontal dengan jarak yang sama. Untuk memberi kesan tidak monoton dalam penempatan, maka peran tumbuh-tumbuhan sangat dibutuhkan sebagai pengisi ruang kosong dan sebagai penguhubung pada tiap-tiap bentuk binatang. Pengisian ruang kosong selalu dilakukan hingga kelihatan ramai dan liar semrawut seperti adanya hutan belantara yang penuh binatang dan tumbuh-tumbuhan liar. Dari segi visual, motif Alas-alasan Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 133 mempunyai keindahan yang luar biasa karena memasukkan unsur-unsur alam dengan objek hutan seisinya yang dibuat secara spontan seakan mengingatkan kita pada lukisan primitif dengan segala kemegahan seperti yang ditampilkan dengan warna emas. Motif Alas-alasan menggambar-kan keadaan hutan atau alam seisinya yang melambangkan keadaan Alam yang baik dan yang buruk Nagoro. 198811. Namun pengertian menurut Suryanto Sastroatmodjo 199347 motif Alas-alasan memberi pengertian bahwa, Alas-alasan berarti hewan yang dianggap sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran. Bila diperhatikan secara teliti dan mendalam maka pada motif Alasalasan tampak adanya hewan yang merusak tanaman atau memangsa hewan lain seperti serangga dan macan, dan hewan yang tidak merusak tanaman seperti kupu-kupu, ular, dan sebagainya. Berbagai sifat hewan tersebut mengartikan adanya kehidupan di alam ini. Manusia yang hidup untuk menuju kemakmuran dan ketenteraman seringkali mendapat berbagai halangan dan rintangan. Motif Alas-alasan tidak tampil pada semua jenis kain batik, tetapi pada kain batik sebagai Dodot bangun-tulak dengan kombinasi pradan emas. Jenis batik ini sering digunakan oleh Raja untuk upacara-upacara agung, pengantin agung, dan tari Bedhaya. Gambar 3 Batik Motif Alas-alasan Sulyon, 1979270 Motif Alas-alasnya menggambarkan suasana hutan, maka dalam motif ini ditampilkan ornamen, semak-semak, tumbuhan gunung, burung, kura-kura, kelabang, katak, serangga, kepiting, merak, dan sebagainya. 134 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003 MITOLOGI Secara keseluruhan motif batik mengacu pada unsur alam, masingmasing stilasi bentuk mempunyai falsafah yang sama, mulai dari kehidupan air, darat dan kehidupan udara. Menurut paham Triloka, yaitu faham dari kebudayaan Hindu, unsur-unsur kehidupan tersebut terbagi menjadi tiga bagian, meliputi Alam Atas, Alam tengah, dan Alam Bawah. Contoh dari ketiga tempat tersebut adalah Burung melambang Alam Atas, Pohon melambangkan Alam Tengah, Ular melambangkan Alam Bawah Susanto, 19732. Ornamen yang berhubungan dengan Alam Atas atau udara seperti garuda, kupu-kupu, lidah api, burung atau binatang-binatang terbang, merupakan tempat pada Dewa. Ornamen yang berhubungan dengan Alam Tengah atau daratan, meliputi pohon hayat, tumbuh-tumbuhan, meru, binatang darat, dan bangunan, merupakan tempat manusia hidup. Ornamen yang berhubungan dengan air; seperti perahu, naga ular, dan binatang laut lainnya, merupakan Alam Bawah sebagai tempat orang yang hidupnya tidak benar dur angkoro murko Susanto, 1973235-237. Ornamen-ornamen yang biasa ditampilkan ke dalam motif Semen, Sawat, dan motif Alas-alasan menurut Susanto 1973235-237, dan Veldhuisen. 198828adalah Sawat atau garuda, melambangkan matahari atau tatasurya, kesaktian, dan keperkasaan Meru merupakan tempat Dewa melambangkan kehidupan dan kesuburan Pohon hayat, melambangkan kehidupan Lidah api melambangkan api, kesaktian, dan bakti Burung melambangkan umur panjang Binatang berkaki empat melambangkan keperkasaan dan kesaktian Kapal melambangkan cobaan Dampar atau tahta melambangkan keramat, tempat Raja Pusaka melambangkan wahyu, kegembiraan, dan ketenangan Naga melambangkan kesaktian dan kesuburan Kupu-kupu melambangkan kebahagiaan dan kemujuran. Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 135 Menurut Wiyoso Yudoseputro, motif yang sering digunakan di dalam batik mempunyai lambang tertentu, seperti Meru melambangkan tanah, bumi atau gunung tempat para Dewa Lidah api melambangkan api, Dewa Api, lambang yang sakti Barito melambangkan air, demikian juga binatang-binatang yang hidup di air, misalnya katak, ular, siput dan lain-lain Burung melambangkan Alam Atas atau udara Pohon melambangkan Alam Tengah Kupu-kupu melambangkan Alam Atas Pusaka melambangkan kegembiraan dan ketenangan Garuda melambangkan Matahari. Bila ornamen tersebut dikelompokkan berdasarkan wilayah Alam dalam falsafah Jawa, maka menjadi sebagai berikut ALAM BAWAH Perahu Naga ular Binatang air lainnya ALAM TENGAH ALAM ATAS Pohon Hayat Meru Bangunan Binatang berkaki Empat Pusaka Binatang-binatang Darat lainnya Garuda Burung Kupu-kupu Lidah Api Dampar Binatangbinatang Terbang lainnya Van Der Hoop 1949 166-178, bahwa Burung pada Nekara pada awalnya menggambarkan roh. Dalam mitologi Hindu, Burung merupakan kendaraan Whisnu, sehingga dalam kesenian Hindu-Jawa Burung Garuda dilambangkan Matahari atau Rajawali yang berlawanan dengan ular yang menjadi lambang air dan Alam Bawah. Bila diperhatikan, Naga Ular melambangkan kesaktian dan kesuburan. Mengapa dalam pewayangan, ular ditempatkan di Alam Bawah sebagai tempat para durjana, tempat orang yang hidupnya tidak benar yang , dalam faham Jawa disebut dur angkoro murko ?. Penempatan Naga Ular di Alam Bawah bagi masyarakat Jawa merupakan pangruwating dur ang- 136 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003 koro murko yaitu sebagai alat pencegah sifat durjana, jahat merusak Alam Tengah, tanpa memperhitungkan Alam Atas. Pohon Hayat yang ditempatkan di Alam Tengah merupakan penghubung Alam Atas dan bawah. Pohon Hayat mempunyai keEsaan tertinggi yang dapat disamakan dengan Brahmana dalam agama Hindu dan Tao filsafat Cina, merupakan sumber semua kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran Hoop. 1949 274. Pohon Hayat digambarkan pula sebagai Gunungan, disebut juga kekayon dari perkataan kayu. Mula diarani kayon tegese, yaiku mujudake yen karepe manungso iku ora tetep, miturut apa kang dibutuhake . Bahwa yang dikatakan kekayon mempunyai arti karep keinginan, yaitu menggambarkan keinginan manusia yang tidak tetap menurut apa yang dibutuhkannya Sajid. 1958150. Gunungan digambarkan sebagai hutan seisinya, ada binatang terbang, binatang darat, ular, dan air. Semua itu merupakan perlambangan Jagat Gede yang tergabung dari ketiga Alam. Gunungan di dalam motif batik digambarkan sebagai Gunung atau Mehru yaitu tempat kediaman Dewa. Mehru digambarkan sebagai puncak yang tinggi dengan dikelilingi oleh tumbuh-tumbuhan gunung. Maksud dari ornamen tersebut di atas adalah menggambarkan, bahwa kehidupan manusia tidak akan kekal dan penuh cobaan di Alam ini Alam Tengah, apabila manusia di Alam Tengah berbuat salah akan mengakibatkan kesengsaraan Alam Bawah. Namun apabila ia dapat mengendalikan diri untuk mencapai kebenaran maka ia akan mendapat kemuliaan Alam Atas. Dapat disimbolkan bahwa manusia hidup tidak gampang, adakalanya sengsara, adakalanya mulya tergantung dari perbuatan dan pengendalian hidup dari manusia sendiri. Tabel 1. Mitologi Jawa dalam Motif Batik ORNAMEN Garuda Meru Dampar LAMBANG Matahari Dewa Raja X X X X X Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 137 X X X X X X X X X X Kemujuran Kesuburan Keramat Cobaan X Ketenangan Kebahagiaan Umur Panjang Kebaktian Kehidupan Keperkasaan X Kesaktian Pusaka Wahyu Pohon Hayat Lidah Api Burung Binatang Berkaki Empat Kapal Naga Kupu-kupu ARTI PANDANGAN HIDUP ORANG JAWA Kejawen merupakan pandangan hidup orang jawa yang didasari oleh sifat lahiriyah dan batiniyah, yaitu; Rela, Narimo, Temen, Sabar, dan Budi Luhur dengan rasa kekeluargaan dan kehormatan. Dalam hidupnya tidak harus ngoyo, sepadan, apa adanya, bersyukur dengan apa yang telah diberikan, dan bisa mengendalikan diri agar bisa bersifat adil sesemanya. Narimo ing pandum dan kalah keporo ngalah merupakan bagian dari darma baktinya kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk nandur kabecikan. Hal tersebut haruslah selaras antara lahir dan batin hingga akhirnya terwujud manunggaling kawulo Gusti. Dalam hidupnya, manusia mempunyai kasunyatan, yaitu asal-usul dan tujuan akhir manusia untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa, dan inilah yang dikatakan sangkan paraning dumadi. Sifat lahiriah dan batiniah pada diri orang Jawa selalu dituangkan dalam karya-karyanya seperti dalam motif batik unsur alam. Batik Keraton yang pada awalnya tercipta melalui meditasi tapa atau tirakat mutih, yaitu penjernihan diri dan penyerahan diri terhadap Yang Maha Kuasa, guna menghasilkan karya besar dan berbobot secara visual maupun spiritual. Batik adat yang berkembang di dalam keraton merupakan pangejawantahan unsur-unsur alam ke dalam kehidupan orang Jawa. Kehidupan sebagaimana dijalankan manusia sebagai kawulane Gusti, seperti 138 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003 Pancasila orang Jawa, tergambar pada bagan sebagai berikut SIFAT ORANG JAWA Rela Narimo Temen Sabar Budi Luhur FALSAFAH ORANG JAWA Manunggaling Kawulo Gusti Sangkan Paraning Dumadi Loroning Anunggal Dwi Tunggal UNSUR ALAM/ KEHIDUPAN Flora Fauna Benda Mati BATIK Motif Warna Teknik Penerapan Motif batik unsur alam yang memanfaatkan unsur-unsur alam, sebagai unsur motif seperti burung, binatang berkaki empat, ular, bunga, kupukupu, bangunan, perahu, karang, arah mata angin, dan sebagainya. Beberapa unsur alam tersebut kalau dikelompokkan menjadi tiga bagian menurut pengertian wilayah alam. Burung, kupu-kupu, dan sejenisnya merupakan penguasa Alam Atas, sebagai tempat para Dewa Tuhan. Binatang berkaki empat, bunga, dan sebagainya adalah menggambarkan Alam Tengah, merupakan tempat hidup manusia. Sedang ular, perahu, dan sebagainya menggambarkan Alam Bawah, yaitu tempat kehidupan yang tidak benar. Maksud dari ketiga wilayah keduniaan tersebut adalah sebagai peringatan kepada manusia, bahwa dalam hidupnya harus berbakti kepada Yang Maha Kuasa dan berhati sumeleh dalam menjalankan hidupnya. Apabila dalam hidupnya tidak benar, tentunya akan menemukan kesengsaraan pada dirinya. Maka untuk mencapai hidup yang tenteram dan damai harus selalu ingat pada Yang Maha Kuasa, saling menghormati dan menghargai sesamanya, sehingga tercermin manunggaling kawulo Gusti seperti yang terdapat pada motif Semen dan Alas-alasan. Warna batik ada yang mengarah ke warna merah seperti Cinde, mengarah ke hijau atau biru seperti Dodot, dan mengarah ke kuning kecokla- Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 139 tan seperti nyamping. Warna-warna yang ditampilkan pada batik adat tersebut mempunyai pengertian yang dalam bagi falsafah Jawa. Warna pada Cinde yang terdiri dari warna putih, merah, dan hitam yang melambangkan kehidupan, yaitu asal sangkaning dumadi. Kain Dodot berwarna hijau atau biru yang dipadu dengan prodo keemasan. Warna hijau merupakan kesayangan Ratu Pantai Selatan yang dianggap sebagai Dewa perdamaian dan ketentraman. Warna hijau bisa diartikan sebagai lambang kesuburan atau kehidupan, sedang prodo sebagai simbul kemurnian. Kesimpulannya, bahwa manusia dalam hidupnya haruslah mempunyai jiwa yang bersih dan murni dalam nandur kebecikan. Nyamping berwarna kuning kecoklatan soga yang dipadu dengan warna hitam dan putih sebagai isen motif. Warna putih menggambarkan dunia terang yang melambangkan kehidupan, warna kuning kecoklatan merupakan lambang kematangan dan kejujuran, sedang warna hitam adalah dunia petang sebagai lambang kelanggengan abadi. Manusia hidup di dunia haruslah mempunyai pikiran yang matang dan bersifat jujur sebagai bekal di dunia lain, yaitu alam baka sebagai suatu kelanggengan. Arah warna gradasi dari putih-kuning kecoklatan-hitam merupakan proses kehidupan manusia sebagai manunggaling kawulo Gusti. Dalam faham kesatuan antara Yang Maha Kuasa dengan manusia merupakan dua hal yang menjadi satu kesatuan yang disebut Loroning anunggal. Teknik pembuatan batik menggunakan canting berisi lilin panas yang dituangkan secara rapi dan halus, sehingga menghasilkan batik adat yang indah. Seperti batik keraton yang dikerjakan berhari-hari atau berbulanbulan oleh perajin-perajin batik tanpa mengenal lelah dan kebosanan, hanya demi darma bhaktinya terhadap Sang Atasan yaitu Raja dan Yang Maha Kuasa. Berdasarkan rela, narimo, temen, sabar, dan budi luhur tanpa ngoyo dalam mengerjakan sesuatu tentunya akan menghasilkan karya yang luar biasa, baik visual maupun spiritual. Dalam penerapannya selain sebagai busana harian batik, juga untuk upacara-upacara ritual. Dalam upacara ageng maupun alit dalam Keraton Mataram, batik adat mempunyai peran utama sebagai perlengkapan upacara yaitu sebagai nyamping. Bila dalam mengikuti upacara tidak memakai nyamping, maka dianggap melanggar pranatan yang ada dan tidak sopan. Di lingkungan keraton, batik dipakai dalam upacara-upacara, karena suatu keharusan yang ditaati, karena berhubungan dengan Yang 140 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003 Maha Kuasa yaitu manunggaling kawulo Gusti. KESIMPULAN Motif batik unsur alam terdiri dari tiga kelompok, yaitu; 1 motif Semen yang mempunyai pengertian tunas atau tumbuh menjalar, yang berarti kesuburan, 2 motif Sawat Garuda yang ditampilkan dengan dua sayap membentang terbuka, melambangkan keberanian atau kekerasan, 3 motif Alas-alasan hutan menggambarkan suasana hutan yang mencerminkan kehidupan alam ini, yang berupa rintangan dan ketentraman. Menurut paham Triloka, bahwa kehidupan di dunia ini terdiri dari Alam Atas, Alam Tengah, dan Alam Bawah. Ketiga kehidupan tersebut mempunyai maksud, bahwa manusia dilahirkan untuk hidup di dunia ini Alam Tengah dengan penuh cobaan Alam Bawah; jika dalam hidupnya manusia bisa menghindari cobaan dan menjalankan perintahnyaNya, maka akan mencapai kebahagiaan di akhirat Alam Atas, yang kesemuanya itu mencerminkan sangkan paraning dumadi. DAFTAR RUJUKAN Kawindrosusanto, Kuswadji. 1981. Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta, Tata Rias dan Busana Tari Yogyakarta. Yogyakarta Dewan Kesenian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Nagoro, Hardjo Krt. 1988. Sekapur Sirih tentang Pola Batik, Malam batik, Pola, dan Pesona. Surakarta UNS Press. Ranggawarsita, R. Ng. Winter Sr. 1994. Kamus Kawi-Jawa. Yogyakarta Gajah Mada University Press. Sajid. 1968. Bauwarna Wayang Jilid I Keterangan lan Rinenggo ing Gambar-gambar. Surakarta Widya Duta. Sastroatmodjo, Surjanto. 1993. Nyamping Batik Wibawaning Priyayi. Yogyakarta Djoko Lodang No. 1096. Sulyom, Garrett dan Bronwer. 1984. Fabric Traditions at Indonesia. Washington Woshington State University Press. Susanto, Sewan. 1973. Pembinaan Seni Batik Seri Susunan Motif Batik. Yogyakarta Balai Penelitian Batik dan Kerajinan. Susanto, Sewan. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta Balai Penelitian Batik dan Kerajinan. Sutaarga, Moh. Amir. 1964. Pembinaan Pola Batik. Jakarta Museum Tekstil Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 141 Tirta, Iwan. 1985. Simbolisme dalam Corak dan Warna Batik. Jakarta Femina. No. 28 XIII-23. Veldhuisen, Alit Djajasoebrata. 1973. On the Origin and Nature of Larangan. Washington DC The Textile Museum Van Der Hoop. 1949. Indonesische Siermotieven. Koninkligk Bataviasch Genootschap Van Kunsten en Weterschappen. Yudoseputro, Wiyoso. 1983. Mengenal Ragam Hias Jawa I B. Jakarta Departeman Pendidikan dan Kebudayan Haltersebut usnya memang melalui pendidikan secara dilambangkan sebagai dewa pemelihara memperlihatkan bahwa pemitosan ter- baiklah, manusia Indonesia bisa berfikir (alam semesta), sedangkan Brahma yang bentuk bukan dari kalangan raja atau dengan jernih terhadap mitos yang masih dianggap sebagai dewa pencipta (jiwa penguasa tetapi dari e5nRyg.
  • dpb4mzab11.pages.dev/203
  • dpb4mzab11.pages.dev/337
  • dpb4mzab11.pages.dev/300
  • dpb4mzab11.pages.dev/502
  • dpb4mzab11.pages.dev/135
  • dpb4mzab11.pages.dev/157
  • dpb4mzab11.pages.dev/60
  • dpb4mzab11.pages.dev/29
  • kediaman dewa dilambangkan dengan motif